Menderita Demam, Diimunisasi, Ariansyah Meninggal Dunia

http://www.riauinfo.com/main/news.php?c=11&id=4442

Menderita Demam, Diimunisasi, Ariansyah Meninggal Dunia
28 Mar 2008 10:51 wib
ad

PEKANBARU (RiauInfo) – Kemudaratan akibat imunisasi sembarangan kembali terjadi. Kali ini kenimpa Ariansyah, bayi berusia delapan bulan warga Selatpanjang. Dia meninggal dunia setelah mendapatkan suntikan imunisasi dalam kondisi demam.

Berita ini menjadi headline Pekanbaru Pos edisi Jumat (28/3) ini. Dalam berita berjudul “Bayi Tewas Usai Imunisasi” harian ini menyebutkan, selain Ariansyah tewas, dua bocah lainnya muntah-muntah setelah mendapatkan pengobatan gratis oleh Yayasan Kelompok Sosial Masyarakat Tunas Bangsa.

Keberangan Gubernur Riau HM Rusli Zainal kepada Badan Kesejahteraan Sosial (BKS) Riau yang dinilai lamban dalam menangani banjir menjadi berita utama Riau Pos. Dalam berita berjudul “Gubernur Riau Marah” menyebutkan Rusli Zainal menilai kinerja BKS Riau sangat buruk dalam menangani korban banjir.

Perampokan yang disertai pemerkosaan terjadi di Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis. Mimi (23) bersama adiknya Ayu (14) menjadi korban pemerkosaan itu. Sehabis puas melampiaskan nafsunya, pelakupun kemudian merampok harta benda korban. Berita itu jadi headline Pekanbaru MX berjudul “Kakak Adik Diperkosa, Harta Dirampok“.

Puluhan ribu warga Riau dikhawatirkan akan kehilangan hak pilihnya dalam Pilgubri 2008 mendatang. Hal ini muncul karena ada indikasi kecurangan yang dilakukan pihak-pihak tertentu. Berita itu menjadi berita utama Riau Mandiri berjudul “Puluhan Ribu Warga tak Bisa Memilih“.

Sedangkan Metro Riau berita utamanya tentang terbongkarnya tumpukan kayu-kayu ilegal akibat banjir. Dalam berita berjudul “Timbunan Illegal Logging Mengapung” menyebutkan hal ini ditemukan petugas Polda Riau di tengah hutan wilayah Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar.

Kisruh internal yang terjadi di tubuh PKB menjadi berita utama Tribun Pekanbaru hari ini. Harian ini menyebutkan Lukam Edy bakal dipecat dari PKB karena ikut bersengkongkol dengan Muhaimin Iskandar mendongkel Gus Dur. Berita itu berjudul “Lukman Edy Bakal Dipecat“.

Sedangkan Media Riau berita utamanya hari ini tentang pemeriksaan yang dilakukan Tim Pengawasan (Was) Kejati Riau terhadap mantan Bendahara BKS Riau Ibrahim terkait kasus suap Rp 320 juta. Berita itu berjudul “Tim Was Kejati Periksa Ibrahim“.(Ad)

SERING BERDAMPAK NEGATIF – Imunisasi Massal Minta Dihentikan

http://www.riauinfo.com/main/news.php?c=6&id=506

SERING BERDAMPAK NEGATIF
Imunisasi Massal Minta Dihentikan
05 Mar 2007 15:04 wib
ad

PEKANBARU (RiauInfo) – Imunisasi massal yang dilakukan di sekolah-sekolah sering menimbulkan korban. Bahkan baru-baru ini Ita Rosita (7) warga Serang, Jawa Barat tewas, diduga akibat imunisasi campak yang diikutinya di sekolah.

Sedangkan di Pekanbaru beberapa waktu lalu Susi (6) siswa kelas I SD Negeri 017 Bukitraya mengalami kelumpuhan yang juga diduga akibat imunisasi campak di sekolahnya. Sampai saat ini kondisi Susi masih sangat menyedihkan.

Seringnya muncul korban akibat imunisasi massal di sekolah-sekolah itu, sejumlah orangtua yang ditemui RiauInfo umumnya mengkhawatirkan kalau kasus yang sama akan menimpa putra-putri mereka.

Sehubungan hal itu, mereka minta pemerintah untuk menghentikan saja program imunisasi massal yang dilakukan di sekolah-sekolah tersebut. Stidaknya, kalau memang harus dilakukan di sekolah, tapi harus terlebih dahulu minta izin dari orangtua.

Ningsih (36) salah seorang warga yang anaknya tertuanya kini masih kelas 5 SD mengaku sering khawatir kalau tiba-tiba anaknya mendapatkan imunisasi saat berada di sekolah. “Tapi untung saja akhir-akhir ini sekolah anak saya minta izin dulu sebelum anak-anak diimunisasi,” ujarnya.

Dia sendiri sangat setuju jika pemerintah menghapuskan saja program imunisasi massal tersebut. Menurut dia, lebih baik program imunisasi tersebut diserahkan saja kepada orang tua masing-masing anak, karena mereka yang lebih tahu kondisi kesehatan anak-anaknya.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Viona (40) warga Gobah yang anaknya terkecilnya masih kelas 3 SD. Dia juga setuju kalau program imunisasi massal tersebut dihapuskan. “Soalnya tingkat keamanannya sangat diragukan,” ujarnya.

Viona sendiri, seluruh anaknya sudah mendapatkan imunisasi lengkap sejak dari balita. “Jadi saya rasa tidak perlu lagi harus dimunisasi berulang-ulang. Pihak sekolah juga seharusnya tidak memaksakan imunisasi ini kepada anak-anak muridnya,” tambah dia lagi.(Ad)

IMUNISASI BISA BERDAMPAK NEGATIF

http://www.riauinfo.com/main/news.php?c=6&id=505

IMUNISASI BISA BERDAMPAK NEGATIF
Tapi Masyarakat Diminta Tidak Khawatir
05 Mar 2007 15:03 wib
ad

PEKANBARU (RiauInfo) – Pihak Dinas Kesehatan (Diskes) Riau mengakui imunisasi untuk perorangan berupa suntikan bisa berdampak negatif, seperti terjadinya elergi, skunder infeksi, pendarahan yang sulit dihentikan dan sebagainya.

Di kalangan kedokterkan hal tersebut diistilahkan sebagai Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Namun selama ini persentase kejadian KIPI tersebut sangat kecil.

Kepala Sub Dinas Pelayanan Kesehatan dan Gizi Diskes Riau, drg Buharnuddin Agung MM dalam keterangannya di Pekanbaru mengatakan, KIPI bukan suatu kejadian yang harus ada pada pelaksanaan imunisasi.

Menurut dia, dari sekian ribu orang yang mendapatkan imunisasi, ada yang terjadi demikian. “Ini merupakan hal manusiawi di dalam kehidupan dan pelayanan kesehatan kita,” ungkapnya lagi.

Namun demikian, dia minta masyarakat untuk tidak khawatir karena petugas yang melakukan imunisasi sudah terlatih. Jika nantinya muncul sesuatu yang tidak diinginbkan karena kesalahan petugas, akan ada tindakan dari tim.

Di Riau sendiri sudah ada Komda KIPI yang timnya terdiri dari dokter-dokter ahli. “Makanya kepada masyarakat agar segera melaporkan ke Komda KIPI bila terjadi hal-hal yang tidak diingini setelah imunisasi,” ungkapnya.(Ad)

Bocah Lima Tahun Tewas Usai Imunisasi

http://www.ypha.or.id/information.php?subaction=showfull&id=1173189316&archive=&start_from=&ucat=2&

Bocah Lima Tahun Tewas Usai Imunisasi
Posted on: 06 Mar 2007 by ypha

Seorang bocah berusia lima tahun asal Padalarang, Kabupaten Bandung, meninggal dunia dua’hari setelah diimunisasi di sebuah posyandu. Bocah tersebut, Dede Rita, meninggal Senin (5/3) pagi setelah mengalami panas tinggi dan kejang-kejang.

“Belum sempat saya bawa ke puskesmas, anak bungsu saya ini meninggal di pangkuan,” kata. Ny Ita, ibunda Dede, di RS Hasan Sadikin, Bandung. Dede meninggal sekitar pukul 05.00.

Petugas puskesmas yang akhirnya memeriksa jenazah Dede menyarankan agar jasad bocah itu dibawa ke RS Hasan Sadikin guna diautopsi agar penyebab kematian bocah tersebut jadi jelas. Menurut Ita, keluarganya menduga kematian Dede ada kaitannya dengan imunisasi yang diterima bocah itu, Jumat (2/3).

“Saat diimunisasi, kondisi anak saya dalam keadaan sehat, begitu juga pada hari Sabtu. Namun, sejak Minggu siang hingga Senin dini hari kondisi anak saya panas dan kejang-kejang, kemudian pada Senin pagi terkulai tak bergerak lagi,” katanya. Dede merupakan anak ke.lima pasangan petani Turi-Ita, warga Kampung Sukamanah, Cipatat, Padalarang. Dede disuntik vaksin di salah satu posyandu di Kampung Sukamanah yang menyelenggarakan imunisasi pada Jumat itu.

Sementara itu, seorang siswi kelas satu SD di Banten, Ita Rosita, meninggal dunia 10 hari setelah diimunisasi polio di sekolahnya. Pihak sekolah menduga tewasnya Ita akibat jarum suntik yang digunakan bergantian. Namun pihak rumah sakit menyatakan Ita meninggal akibat radang otak.

Ita meninggal dunia di RSUD Serang, Minggu (4/3) pukul 09.00 setelah tiga hari menjalani perawatan di rumah sakit tersebut. Sorenya, jenazah Ita dikebumikan sekitar 50 meter dari rumah orangtuanya di Kampung Bantuwangi, Kelurahan Sangiang, Kecamatan Mancak, Serang.

Ibunda Ita, Ny Siti Rohimah, menduga Ita meninggal akibat suntikan vaksin campak. Siti menceritakan, ketika pulang sekolah pada Rabu (22/2) siang, Ita mengeluh pusing, mata pedas, serta pegal pada tangan kiri. Putri pertama pasangan Mulyani-Siti Ronimah itu pun bercerita bahwa di sekolah dia disuntik vaksin campak dalam rangka Pekan Imunisasi Nasional (PIN).

“Dia hilangnya kepala itu seperti ada yang nusuk-nusuk,” ujar Siti. Esoknya, suhu tubuh Ita panas tinggi. Namun, Ita tetap berangkat sekolah. Hari berikutnya, panas badan Ita makin tinggi sehingga siswi kelasIA SDN Sibuyung, Mancak, itu tak sanggup berangkat sekolah.

Sejauh itu, Siti hanya memberikan ramuan tradisional sebagaimana galibnya penduduk desa tersebut mengobati anak yang demam. Menurut Siti, dirinya memberikan air seduhan daun tanaman obat yang tumbuh di kampungnya yang telah diberi mantra.

Hasilnya, suhu badan Ita menurun. Namun, Kamis (1/3) malam, sulung dari dua bersaudara itu kejang-kejang, mulutnya berbusa, dan ada bintik berwarna merah di sekujur tubuhnya. Sang ayah, Mulyani (32), segera memanggil mantri Puskemas Mancak yang tinggal sekitar 200 meter dari rumahnya. Mantri tersebut menyarankan agar Ita buru-buru dibawa ke rumah sakit. “Karena peralatan di puskesmas di sini tidak memadai,” ujarnya.

lta dibawa ke RSUD Serang di ibu kota Kabupaten Serang yang perjalanannya membutuhkan waktu sekitar satu jam. Dari kota Serang, jalan terdekat ke Mancak adalah lewat jalan Serang-Anyer.

Selama dirawat di RSUD Serang, dalam sehari, Ita bisa kejang-kejang hingga lima kali. Kejang-kejang itu baru reda setelah Ita diberi obat penenang. Pada Minggu sekitar pukul 09.00, Ita meninggal dunia.
Wakil Direktur RSUD Serang, dr Boediarjo, mengatakan Ita meninggal akibat komplikasi radang otak. Boediarjo yang dihu

bungi melalui telepon genggamnya Senin (5/3) siang menambahkan pihaknya juga meneliti kaitan kematian Ita dengan imunisasi yang diterima siswi SD tersebut.
“Kepastiannya tunggu hasil penelitian tim ahli yang memeriksa kejadian ikutan pascaimunisasi,” ujarnya.

Kepala SD Sibuyung, Baehaki, yang ditemui kemarin mengatakan sekitar 280 dari 359 murid (kelas 1-6) sekolah tersebut menerima suntikan pada pelaksanaan PIN tersebut. Sedangkan sisanya kabur ketika tahu hari itu ada petugas PIN datang. “Namanya anak-anak, mendengar akan disuntik mereka langsung kabur dari sekolah,” ujar Baehaki.

Bidan Puskesmas Mancak, Rosidah, yang datang ke SDN Sibuyung mengatakan bahwa satu jarum suntik digunakan untuk satu orang. Jarum suntik itu, katanya, sudah didesain sedemikian rupa sehingga tidak bisa dipakai ulang.

Firasat akan ditinggal oleh putri kesayangannya itu sudah dirasakan Mulyani, malam sebelum Ita menjalani PIN. Sopir angkutan jurusan Cilegon-Mancak itu bermimpi dikejar dan diseruduk sejumlah kerbau. Saat bertanya ke orang pintar, pria yang sudah 17 tahun jadi sopir angkutan umum itu mendapat jawaban bahwa mimpi itu menandakan ada anggota keluarganya yang akan terserang penyakit. (nir/Ant)

(Tuesday, 06 March 2007, Warta Kota, Page : 1, Size : 193.1667 mmc Circulation : 93,500)

Kasubdin Pendidikan dan Dinas Kesehatan Subang Kurang Respon atas Kematian Bocah SD Pasca Imunisasi

http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=26&dn=20071202141005

Kasubdin Pendidikan dan Dinas Kesehatan Subang Kurang Respon atas Kematian Bocah SD Pasca Imunisasi
Oleh : Pirdaus

03-Des-2007, 11:23:49 WIB – [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia – Kepala Sub Dinas Pendidikan (Kasubdin) TK/SD Kabupaten Subang, Kusdinar kurang peduli terhadap siswa sekolah dasar (SD) Cintawinaya Desa Salamjaya Kecamatan Pabuaran yang menjadi korban tewas pasca Imunisasi.

Kurang pedulinya Kasubdin muncul ketika dikonfirmasi RAKA melalui telepon selulernya, Kusdinar tidak memberikan komentar atas pertanyaan wartawan dengan tewasnya Erna Arwati Binti Taman (6) siswa kelas I SDN Cintawinaya Desa Salamjaya Kecamatan Pabuaran, warga Bakan Cingcau Rt.29/12 Desa Pringkasap Kecamatan Pabuaran. Saat itu Kusdinar menyarankan kepada RAKA agar mengklarifikasi kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Subang. “Coba klarifikasi ke Dinkes,” ucap Kusdinar.

Ucapan Kasubdin TK/SD Kabupaten Subang tersebut bukanlah jawaban yang diharapkan RAKA bahkan mungkin oleh semua pihak, soalnya nasib sial yang menimpa Erna Arwati siswa kelas I SDN Cintawinaya, Ketua RT, Kadus dan Aparat Desa Pringkasap semestinya pihak sekolah maupun dinas pendidikan memeberikan perhatian dan ditangani secara serius baik oleh sekolah maupun tim pelaksana Imunisasi dan dinas kesehatan Kabupaten Subang.

“Erna Arwati bicah kecil yang menjadi korban tewas pasca Imunisasi tidak mendapat perhatian serius baik dari pihak Dinkes maupun dinas Pendidikan Subang, bahkan pihak sekolah pun kurang respon adanya kejadian tersebut,” ujar Ketua RT 29/12, Enay dan Kepala Dusun (Kadus) Bakan Cingcau, Tarim.

Karena pihak terkait kurang respon terjadinya korban tewas pasca Iminisasia yang menimpa warganya Ketua RT dan Kadus mendatangi kantor Desa Pringkasap dan pihak Desa mengundang salah seorang dokter Puskesmas Pringkasap, dr.Elan, salah seorang dokter yang ikut terlibat menangani Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI). Terlihat kekecewaan Ketua RT dan Kadus ketika mendatangi kantor Desa Pringkasap Kepala Desa Pringkasap tidak berada ditempat dan luapan kemarahannya tertuju kepada dr.Elan yang datang kekantor Desa langsung memberikan keterangan kepada Ketua RT, Kadus dan aparat Desa dipantau RAKA. Pada pertemuan tersebut terjadi perdebatan antara dr.Elan dan aparat Desa, Ketua RT dan Kadus dipicu pembelaan dr.Elan yang dinilai tidak mau disalahkan atas tewasnya Erna.

Menurut dr. Elan tewasnya Erna tidak ada hubungannya dengan Imunisasi namun karena ada penyakit penyerta muncul pasca Imunisasi, sebab sebelum Imunisasi Erna mengalami sakit batuk dan sakit panas sembuh setelah diobati dengan obat warung kemudian ketika Erna disuntik Imunisasi (Sabtu,24/11) dalam keadaan sehat.

“Jelas sekali tim Imunisasi Puskesmas Pringkasap tidak melakukan kesalahan pada saat Imunisasi, Erna dalam keadaan sehat, tidak terjadi ketakutan yang berlebihan sebelum dan setelah disuntik. Erna sehat-sehat saja. Adapun terjadi panas itu merupakan reaksi obat suntik pada Imunisasi,” jelas dr. Elan.

Ketua RT 29/12 Keboncau, Enay, membantah keras atas pengakuan dr. Elan bahwa Erna ketika disuntik tidak terjadi ketakutan yang berlebihan, sebab ketika dirinya mengkonfirmasikan kepada kakak dan orang tua Erna, bahwa Erna ketika akan disuntik terjadi ketakutan lari dari ruangan kelas mendekati dan merangkul kakaknya bernama Laela murid kelas V di sekolah yang sama.

“Kata Kakak dan orang tua Erna, saat akan disuntik Erna merangkul kakaknya menolak untuk disuntik, dan bahkan ketakutan Erna tampak menggigil dan takut untuk disuntik. Ketika Erna diraih oleh guru kelasnya kakak Erna tidak kuasa untuk menahan adiknya dan Erna dibawa ke kelas oleh guru kelasnya seperti dipaksa di suntik Imunisasi,” ujar Enay.

Masih kata Enay, pasca Imunisasi dirinya mendapat laporan dari orang tua Erna, Taman, bahwa Erna mengalami sakit panas yang hebat, muntah-muntah dan menggigil serta seperti ketakutan ketika menghadapi orang yang tidak dikenal. Sepengetahuan Enay, kejadian seperti itu baru pertama kali dialami Erna karena sakit sebelumnya tidak terjadi sakit yang berlebihan.

“Memang Erna pernah sakit batuk dan panas, namun cukup diobati dengan obat warung sembuh, dan ketika panas tidak terjadi ada rasa takut, mengigau dan kejang-kejang. Saya menilai kondisi Erna seperti itu terjadi setelah di Imunisasi di sekolahnya dan saya sebagai Ketua RT berkewajiban untuk mengurusi atas tewasnya Erna dampak dari Imunisasi dan pihak-pihak yang berwenang untuk mempertanggungjawabkan atas kejadian tersebut,” tegas Enay.

Mendapat teguran keras seperti itu, dr. Elan bersikukuh memberikan keterangan pembelaan kepada Ketua RT, Kadus dan aparat Desa Pringkasap bahkan demikian pula terhadap wartawan, menurutnya kematian Erna tidak ada hubungannya dengan Imunisasi.

“Bapak-bapak harus mengerti bahwa pihak kami hanya melakukan tugas Imunisasi atas program rutin pemerintah, sekali lagi kematian Erna tidak ada hubungannya dengan Imunisasi,” terang dr. Elan yang terkesan membela diri.

Kesekian kalinya dr. Elan memberikan keterangan pembelaan diri kepada aparat Desa, bikin marah Kadus Bakan Cingcau, Tarim, karena menurutnya pihak Puskesmas Pringkasap harus bertanggungjawab tewasnya Erna, apapun pembelaan pihak Puskesmas merupakan pembelaan yang tidak bertanggungjawab.

“Timbulnya sakit Erna separah itu dan menimbulkan kematian Erna, sebab musababnya setelah di Imunisasi, boleh saja pihak Puskesmas memberikan jawaban pembelaan namun kebenarannya nanti setelah ada di pihak kepolisian,” ancam Tarim.

Kepada wartawan, ketua RT dan Kadus Bakan Cingcau kemarahan dan kepeduliannya timbul karena pasca Imunisasi terjadi sakit berkelanjutan yang dialami Erna tidak dipantau secara intensif oleh pihak Puskesmas Pringkasap. Hal itu diketahui, sambung Kadus Tarim, ketika dirinya menanyai orang tua Erna, pasca Imunisasi timbul sakit panas yang berkelanjutan orang tua Erna melakukan pengobatan Erna harus berlari-lari kecil sendiri tanpa mendapat respon yang serius dari pihak Puskesmas Pringkasap.

“Padahal orang tua Erna pertama kali berobat kepada Kepala Puskesmas Pringkasap, Bidan Maryam. Dan bidan Maryam tahu bahwa sakitnya Erna pasca Imunisasi, namun bidan Maryam tidak melakukan antisipasi dengan cepat dan terkesan membiarkan, hingga Erna mengalami panas yang memuncak, pihak Puskesmas Paringkasap tidak juga melakukan upaya yang optimal hingga Erna meninggal,” tegas Kadus Tarim.

Sementara Kepala Desa Pringkasap, Aji Darki Sopandi yang disebut-sebut sebagai penengah musyawarah antara keluarga korban dan pihak Puskesmas Pringkasap ketika akan ditemui wartawan tidak berada di kantornya, menurut salah seorang bawahannya bahwa Kepala Desa sedang ada keperluan keluar,” Kepala Desa sedang rapat di Desa Kedawung Kecamatan Pabuaran,” ujar salah seorang juru tulis Desa Pringkasap. (pirdaus).

Sumber image: oneworld.net

Riyanul Tewas, Diduga Akibat Malpraktek

http://lotengpers.wordpress.com/2008/03/08/riyanul-tewas-diduga-akibat-malpraktek/

Riyanul Tewas, Diduga Akibat Malpraktek
Ditulis pada Maret 8, 2008 oleh lotengpers

Plt– Warga Dusun Ampan Desa Sikur kecamatan Sikur Lotim, dihebohkan dengan tewasnya Riyanul Ronaldo bayi berusia 3 bulan, Riyanul merupakan anak dari Rubaiyah warga setempat, ia tewas diduga akibat imunisasi. Berdasarkan Infromasi yang dihimpun wartawan, sekitar pukul 10.00 Wita, Rabu (5/3) lalu, korban dibawa ibunya imunisasi di salah satu posyandu di dusun tersebut, namun, akibat imunisasi tersebut, korban mengalami panas tinggi dan kejang-kejang, akhirnya sekitar pukul 23.30 Wita, korban dibawa keluarganya ke Puskesmas Sikur, namun sebelum mendapat perawatan secara intensif oleh petugas puskesmas Sikur, korban menghembuskan nafasnya terakhirnya.

Kematian korban ini, diduga akibat malpraktik. Kepala Dinas Kesehatan Lotim melalui Kasubdin P2P dr. H. Mawardy Hamry, MPPM yang dikonfirmasi di ruang kerjanya, mengaku, belum bisa menyimpulkan apakah kematian korban tersebut ada kaitanya dengan imunisasi atau tidak, perlu dilakukan penyelidikan lebih jauh, “Kasusnya sedang ditangani Dikes Kabupaten dan Provinsi, bahkan hari ini (kemarin,red) petugas dari Dikes provinsipun akan turun ke TKP,” ujarnya, seraya menyebutkan, kalau korban di bawa keluarganya ke puskesmas malam itu, dalam kondisi penyakitnya sudah berat,dan meninggal di Puskesmas, sebelum dirujuk ke RS, “Kelihatannya, korban terlambat di bawa ke Puskesmas,karena kondisi korban saat diabwa panasnya tinggi, ” katanya, seraya membantah korban meninggal dunia akibat malpraktik, karena kegiatan imunisasi tersebut dilakukan sesuai prosudur yang ada, bahkan petugas yang diterjunkanpun memiliki skill dan keahlian yang memadai dibidangnya, “kalau korban dikatakan meninggal akibat malpraktik itu tidak benar, karena kegiatan imunisasi tersebut dilakukan sesuai aturan yang ada,” jelasnya.

Mawardy juga tidak menampik, kalau adungkinan Kematian korban diduga akibat imunisasi, “Kasus seperti ini bisa saja terjadi, tetapi itupun 1 dalam 100.000 orang,” terangnya, sehingga untuk membuktikannyapun perlu penyelidikan. Hal senada juga diungkapkan Kepala Puskesmas Sikur dr. H. Syamsul Bahri, pihaknya melakukan imunisasi tersebut sesuai protap yang ada, bahkan alat yang digunakann termasuk dosis obat yang diberikan sesuai aturan dan masih setril. Karena tujuan dari kegiatan imunisasi tersebut yaitu agar anak Indonesia ini sehat, “memang kondisi korban saat diimunisasi sehat, ada juga kemungkinan, daya tahan tubuh korban untuk menerima imunisasi lemah,” katanya, seraya mengatakan, tidak ada masalah ketika selesai diimunisasi, hanya saja, korban di bawa ke Puskesmas sekitar pukul 23.30 Wita, dan itupun, belum mendapat perawatan intensif, korban meninggal. “Untuk meredam munculnya opini public, pendekatan kepada orang tua korban telah dilakukan, “dan itupun dilakukan bersama pihak Kepala desa juga,” jelasnya.

LUMPUH SETELAH IMUNISASI

http://indobic.or.id/berita_detail.php?id_berita=310

LUMPUH SETELAH IMUNISASI
Kompas (02/01/2006, 15:22:46)
Firdha Maulina (9), siswa kelas tiga sekolah dasar, berjalan perlahan dengan bagian perutnya didekap ibunya dari rumah tetangga yang berjarak sekitar tiga meter untuk menuju rumahnya di Jalan SMP 160 RT 05 RW 05, Ceger, Jakarta Timur, Jumat (30/12). Pasalnya, anak kedua pasangan Aep Saefulloh (53)-Eulis Sunarsih (41) itu tiba-tiba lumpuh setelah tiga hari mendapat suntikan imunisasi di sekolahnya pada akhir September lalu.

Kemampuan berjalan Firdha memang semakin membaik sebulan belakangan ini berkat terapi pijat yang dilakoninya di Kemayoran, Jakarta Pusat.

Bocah perempuan yang sudah tidak menikmati bangku sekolah sejak lumpuh secara tiba-tiba itu bisa berjalan sendiri jika tubuhnya didirikan orang lain.

Firdha berjalan dengan meraba dinding. Itu pun tidak bisa lama karena kedua kakinya masih lemah.

Dia harus terus ikut terapi jika ingin kembali bisa berjalan normal. Tetapi, orangtuanya mulai kebingungan untuk membayar biaya transpor dan terapi yang mencapai Rp 200.000 setiap kali datang.

Dijanjikan piknik

Menurut Eulis, anaknya ini mendapat suntikan imunisasi dari sekolah tanpa pemberitahuan ke anak atau orangtua sebelumnya. Malah, siswa kelas tiga dijanjikan akan ke Taman Mini Indonesia Indah. Ternyata itu cuma cara supaya semua anak hadir karena ada program imunisasi dari Puskesmas Ceger.

Padahal, saat itu Firdha sakit flu. Tiga hari kemudian seluruh tubuh Firdha lumpuh sehingga selama sebulan dia dirawat di RSUD Pasar Rebo.

Firdha sudah kembali ceria, tetapi dia sedih karena tidak bisa selincah dulu lagi. (ELN)

KOMNAS PERLINDUNGAN ANAK MEMBAWA SINTABELA KE DINKES BEKASI

http://www.metrotvnews.com/berita.asp?id=22343

Rabu, 16 Agustus 2006 05:32 WIB

KOMNAS PERLINDUNGAN ANAK MEMBAWA SINTABELA KE DINKES BEKASI

Metrotvnews.com, Bekasi: Komisi Nasional Perlindungan Anak mempertemukan keluarga Sintabelaa dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (15/8). Sinta mengalami lumpuh setelah menerima imunisasi pada November 2005 dari Dinkes Bekasi. Selama sembilan bulan lumpuh, Sinta tidak mendapat perhatian dari pihak sekolah dan Dinkes Bekasi. Seluruh biaya perawatan Sinta sepenuhnya juga ditanggung keluarga.

Ironisnya, saat dipertemukan dengan keluarga Sinta, Dinkes Bekasi menyatakan, kelumpuhan Sinta masih harus dideteksi, terkait imunisasi yang dilakukan di sekolah atau tidak. Dinkes Bekasi berjanji akan menindaklanjuti kasus Sinta, Rabu ini. Selain itu, Sinta juga akan diberikan kursi roda untuk alat bantu berjalan dan bantuan pengobatan gratis untuk mendeteksi penyakitnya.(DEN)

Ilham Lumpuh Setelah Disuntik Vaksin

http://www.liputan6.com/daerah/?id=11005

10/04/2001 12:15 Soal Imunisasi
Ilham Lumpuh Setelah Disuntik Vaksin

Liputan6.com, Banda Aceh: Petaka yang diderita Ilham Fauzi, bocah berusia sembilan tahun, terjadi enam tahun silam. Saat itu, ia menderita sakit panas dan harus disuntik vaksin oleh dokter Rumah Sakit Umum Cut Mutia, Lhokseumawe, Banda Aceh. Namun setelah disuntik, Ilham malah tak bisa jalan.

Menurut Bahktiar, orang tua Ilham, baru-baru ini, saat berusia tiga tahun, anaknya menerima dua suntikan vaksinasi di bagian paha. Bahktiar menegaskan, setelah menerima suntikan, sakit panas Ilham tak kunjung reda tetapi justru membuat dia tak bisa jalan. Bahkan, hingga kini, usaha Bahktiar untuk menyembuhkan anaknya belum membuahkan hasil. Padahal, Bahktiar telah membawa Ilham ke berbagai dokter dan tabib.

Sementara itu, Supardi, dokter RS Cut Mutia, membantah kenyataan itu. Menurut Supardi, kelumpuhan Ilham bukan karena suntikan vaksinasi. Tetapi, lebih disebabkan gizi buruk dan pembengkakan sendi. Namun demikian, untuk meringankan beban Bahktiar, RS Cut Mutia bersedia membebaskan biaya penginapan dan perawatan jika Ilham kembali dirawat. Selain itu, RS Cut Mutia juga bersedia menanggung separuh biaya dari keseluruhan biaya obat-obatan yang dibutuhkan Ilham.(ICH/Muktarudin Yakub dan Muhamad Nasir)

Lima Balita Sakit Setelah Imunisasi Polio

http://www.liputan6.com/sosbud/?id=102786

03/06/2005 17:59 Polio
Lima Balita Sakit Setelah Imunisasi Polio


Liputan6.com, Purwakarta: Lima bayi berumur lima tahun ke bawah di Purwakarta, Jawa Barat, mengalami demam tinggi, mencret, hingga mimisan setelah mendapat imunisasi polio. Orang tua para bocah yakin anaknya terserang penyakit ini akibat diberi vaksin polio. Namun, sejauh ini, keyakinan mereka belum bisa dibuktikan secara medis. Hingga Jumat (3/6), Dinas Kesehatan Purwakarta sedang menyelidiki kasus ini.

Kelima balita itu kini dirawat di Rumah Sakit Bayu Asih Purwakarta. Menurut para orang tua, anak mereka sakit setelah menerima vaksin polio dalam kegiatan imunisasi serentak di tiga provinsi beberapa waktu silam. Siti, salah seorang ibu yang anaknya sakit mengaku, Andela yang berusia 19 bulan mengalami diare setelah tiga jam diberi vaksin polio. Kondisi tak jauh beda juga dialami balita lain yang mengalami panas tinggi usai imunisasi polio.

Sebelumnya dari Tasikmalaya, Jabar, seorang bayi meninggal dunia setelah mendapatkan imunisasi polio. Sejauh ini, belum diketahui penyebab pasti kematian bayi ini. Kuat dugaan, bayi itu mengidap penyakit berat sebelum mendapat vaksin polio. Memang seharusnya bayi dalam keadaan sehat saat mendapatkan imunisasi.

Sementara itu, keluarga Amin Pupu yang menderita lumpuh layu di Kampung Parung Poncol, Sawangan, Depok, Jawa Barat, hanya pasrah menanti realisasi janji Dinas Kesehatan dan Pemerintah Kota Depok untuk membantu membawa mereka ke rumah sakit. Sebab, hingga kini, belum ada yang mendatangi keluarga ini [baca: Satu Keluarga di Depok Lumpuh].

Istri dan enam anak Amin Pupu yang sudah belasan tahun menderita lumpuh layu tak bisa berobat karena Amin yang bekerja serabutan sebagai petani penggarap tak punya cukup uang. Pendapatannya cuma cukup buat makan. Untuk nafkah keluarga, Amin dibantu seorang anaknya yang sudah bekerja.

Di sisi lain, anggota keluarga yang lumpuh mengeluh kian sulit bergerak. Bahkan, kondisi Sadiyah, istri Amin, mulai lemah. Dia harus dibantu berdiri dan berjalan. Langkahnya pun tertatih-tatih karena kakinya lemas. Sementara Tabroni, salah seorang putra Amin, mengaku kaki dan tangannya kerap nyeri.(YAN/Tim Liputan 6 SCTV)

Lagi, Satu Balita Meninggal Setelah Diimunisasi Polio

http://www.liputan6.com/daerah/?id=103083

08/06/2005 09:20 Polio
Lagi, Satu Balita Meninggal Setelah Diimunisasi Polio


Liputan6.com, Bandung: Kasus bayi usia di bawah lima tahun (balita) yang meninggal setelah diimunisasi polio tidak hanya terjadi di Tasikmalaya, Jawa Barat. Di Kabupaten Bandung, Jabar, seorang balita meninggal dunia setelah lima hari mendapat vaksin polio. Balita bernama Ahmad Fauzi ini baru berusia enam bulan.

Putra pertama pasangan Oleh dan Elis itu meninggal setelah mendapat vaksin polio saat imunisasi massal di kampungnya, Desa Wangisagara, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, 2 Juni silam [baca: Ibu Angga Menolak Anaknya Diotopsi]. Setelah Ahmad mendapat vaksin polio, menurut Elis, anaknya menderita diare disertai demam tinggi hingga akhirnya meninggal dunia. Padahal, kondisi Fauzi sebelumnya sehat.

Selama sakit, Oleh dan Elis sudah berusaha mengobati anaknya ke pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) setempat dan pengobatan alternatif. Namun, upaya itu tidak membuahkan hasil. Oleh dan Elis harus pasrah menerima takdir dari Yang Maha Kuasa. Sementara itu, Kepala Puskesmas Wangisagara, Irda Hasnita, mengatakan kematian Ahmad belum bisa dipastikan akibat pemberian vaksin polio.

Dari pantauan SCTV di wilayah ini, bukan Ahmad Fauzi saja yang menderita diare disertai demam tinggi setelah mendapat imunisasi polio. Angga dan Tia juga mengalami gejala yang sama. Angga, 2 tahun, anak nyonya Enah, menderita diare disertai demam dan kejang-kejang. Begitu juga yang dialami Tia, 10 bulan. Orang tua kedua balita ini mengobati anak-anaknya ke dokter hingga kondisinya membaik.(ZIZ/Patria Hidayat dan Taufik Hidayat)

Seorang Anak di Purwakarta Tewas Setelah Diimunisasi

http://www.liputan6.com/daerah/?id=102962

06/06/2005 19:39 Polio
Seorang Anak di Purwakarta Tewas Setelah Diimunisasi


Liputan6.com, Purwakarta: Seorang dari empat bocah yang dirawat di Rumah Sakit Bayu Asih Purwakarta, Jawa Barat pascaimunisasi polio meninggal, Senin (6/6). Riri sempat diopname selama dua hari sebelum akhirnya mengembuskan napas terakhir.

Orangtua Ririn, Usman dan Asmani hanya bisa pasrah. Mereka tak mau menyalahkan pihak manapun. Keduanya hanya berharap, petugas imunisasi harus lebih hati-hati agar kasus yang menimpa buah hati mereka tak terulang kembali.

Usman dan Asmani membenarkan, Riri langsung demam dan kejang setelah diimunisasi. Sebab sebelum diimunisasi kondisi Riri sedang tak sehat. Jenazah Riri, kini, sudah dimakamkan berdampingan dengan saudara kembarnya, Rere, yang meninggal karena sakit dua pekan silam.

Sementara tiga bocah lainnya masih dirawat di RS Bayu Asih. Mereka masing-masing, Ardelia (18 bulan), Arif (18 bulan), dan Ardiansyah (13 bulan). Kondisi ketiganya masih lemah [baca: Empat Bocah Masih Dirawat].

Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menegaskan, pemberian vaksin polio bukan penyebab sakitnya lima bocah di Purwakarta. Tapi Menkes mengakui terjadi kelalaian karena saat diimunisasi ada sebagian bocah dalam keadaan kurang sehat.

Menkes mengatakan, sudah membentuk tim untuk menyelidiki kasus di Purwakarta. Menurut dia, bisa saja bocah yang tewas pascaimuninasi meninggal bukan karena vaksin. “Bisa saja karena penyakit lain,” ungkap Siti Fadilah.(ICH/Tim Liputan 6 SCTV)

Kesadaran Otak Reihan Menurun Pascaimunisasi Polio

http://www.liputan6.com/sosbud/?id=103124

09/06/2005 03:31 Polio
Kesadaran Otak Reihan Menurun Pascaimunisasi Polio


Liputan6.com, Bogor: Seorang bocah bernama Reihan mengalami somnolent atau penurunan kesadaran otak setelah mendapatkan imunisasi polio pada 31 Mei silam. Bocah berusia dua tahun ini tergolek lemah dengan tatapan kosong dan tanpa suara tangisan di ruang perawatan Rumah Sakit Palang Merah Indonesia Bogor, Jawa Barat.

Saat dikunjungi SCTV, Rabu (8/6), orang tua Reihan, Anto dan Umi terus berusaha menghibur anaknya dengan sejumlah mainan. Namun, Reihan tak bergerak dan sama sekali tak bereaksi. Matanya tetap memandang kosong.

Menurut Anto, kondisi Reihan memburuk sehari sesudah diimunisasi polio. Suhu badannya semakin panas disertai kejang-kejang dan muntah. Kondisi warga Girimulya, Cibungbulang, Bogor, ini terus menurun dan harus diinfus. Bahkan, untuk buang air saja, Reihan harus menggunakan selang dan kantong plastik.

Dokter Hadining yang merawat Reihan menjelaskan bahwa somnolent yang dialami bocah malang itu belum tentu disebabkan imuninasi polio. Sebab sebelum diimunisasi, Reihan diindikasi menderita tuberkolosis (TBC).

Sebelum Reihan, kejadian serupa pascaimunisasi juga menimpa Ahmad Fauzi. Bocah berusia enam bulan ini meninggal setelah mendapat vaksin polio saat imunisasi massal di kampungnya, Desa Wangisagara, Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Jabar [baca: Lagi, Satu Balita Meninggal Setelah Diimunisasi Polio].(TOZ/Heru Yustanto)

Dua Balita Koma Setelah Imunisasi

http://www.liputan6.com/daerah/?id=103329

12/06/2005 09:14 Polio
Dua Balita Koma Setelah Imunisasi


Liputan6.com, Cirebon: Kasus bocah sakit setelah diimunisasi polio kembali terjadi. Kali ini, menimpa dua anak di Cirebon, Jawa Barat. Wili bin Sarsim (2,5) dan Cahyana (4) menderita demam tinggi hingga pingsan setelah diimunisasi. Menurut Romi, ibu Wili, anaknya bahkan sempat koma. “Ditetes hari Selasa [31 Mei], Jumat [3 Juni] kejadian,” kata Romi di Rumah Sakit Umum Waled, Cirebon, Sabtu (11/6).

Senasib dengan Wili, Cahyana juga harus dirawat di RSU Waled. Kedua kaki bocah ini kini menderita lumpuh layu. Menurut orang tua Cahyana, Sohati, anaknya telah mendapat imunisasi lengkap, termasuk vaksin polio. Namun sejak umur tujuh bulan, kaki kiri Cahyana tak bisa digerakkan dan disusul dengan kaki sebelah kanan.

Kedua bocah saat ini dirawat di RSU Waled dengan biaya ditanggung Pemerintah Kabupaten Cirebon. Menurut Dokter Yogi yang merawat kedua pasien, Wili dan Cahya dibawa ke rumah sakit bukan akibat polio tapi karena telah sakit sebelumnya.

Kasus bocah jatuh sakit pascaimunisasi polio memang banyak terjadi. Satu di antaranya adalah peristiwa yang terjadi di Depok, Jawa Barat. Seorang anak bernama Nabila meninggal usai diimunisasi. Herman, ayah Nabila, menggugat Dinas Kesehatan karena dinilai bertanggung jawab atas kematian Nabila. Gugatan ini dilayangkan Herman ke Kepolisian Daerah Metro Jaya, Sabtu kemarin. Herman datang ke Mapolda Metro Jaya ditemani istrinya, Sainah, dan tim dari Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan.

Kasus kematian Nabila mencuat setelah imunisasi polio massal pada 31 Mei silam. Setelah mendapat imunisasi, Nabila yang baru berusia sembilan bulan menderita panas, diare, dan kejang-kejang. Pihak pusat kesehatan masyarakat setempat kemudian hanya memberi Nabila dengan obat turun panas. Karena kondisi Nabila tak juga membaik, puskesmas merujuk Nabila ke Rumah Sakit Bersalin Budi Jaya, Depok, yang kemudian dirujuk lagi ke RSUD Cibinong. Karena kondisi Nabila yang semakin lemah, nyawa balita ini tak bisa diselamatkan [baca: Warga Depok Menolak Imunisasi Polio Kedua].(YAN/Tim Liputan 6 SCTV)

Dini Lumpuh Setelah Diimunisasi

http://www.liputan6.com/daerah/?id=104032

23/06/2005 14:57 Polio
Dini Lumpuh Setelah Diimunisasi


Liputan6.com, Tasikmalaya: Dini Nurlaeni, bayi berusia di bawah lima tahun warga Bojong Tengah, Kecamatan Cipedes, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, lumpuh setelah diimunisasi pada 2002. Kedua kaki Dini bengkok serta penglihatan dan pendengarannya juga terganggu.

Saat ditemui SCTV, baru-baru ini, anak pasangan Dudu dan Susi ini hanya bisa berbaring. Menurut orang tuanya, Dini terlahir dengan kondisi normal. Penderitaan ini terjadi setelah diimunisasi saat berusia tujuh bulan. Saat itu, tubuh Dini mendadak panas disertai muntah-muntah.

Dini sempat dirawat di rumah sakit. Menurut keterangan dokter, ia terkena radang otak yang juga menyebabkan kelumpuhan. Karena kondisi ekonomi yang minim, Dini akhirnya hanya dirawat di rumah. Meski dengan pengobatan sekadarnya, Dudu dan Susi berharap buah hati mereka sembuh dan dapat bermain seperti anak-anak seusianya.

Musibah yang dialami Dini membuat orang tuanya trauma akan imunisasi. Hingga kini, anak-anak Dudu dan Susi tak pernah diimunisasi lagi. Bahkan, program imunisasi pemerintah pada 31 Mei dan 28 Juni pun ditolak.

Kejadian ikutan pascaimunisasi di Tasikmalaya bahkan telah memakan korban jiwa. Angga warga Jalan Cikalang Girang, Kecamatan Tawang, meninggal dunia dua jam setelah mendapat imunisasi polio pada 31 Mei silam. Kuat dugaan, bayi itu mengidap penyakit berat sebelum mendapat vaksin polio [baca: Ibu Angga Menolak Anaknya Diotopsi].(TOZ/Wendy Surya)

Imunisasi Hepatitis A di Cina Memakan Korban

http://www.liputan6.com/luarnegeri/?id=104329

28/06/2005 18:00 Kesehatan
Imunisasi Hepatitis A di Cina Memakan Korban


Liputan6.com, Anhui: Imunisasi hepatitis A mengakibatkan sekitar 216 anak masuk rumah sakit. Salah seorang di antaranya tewas. Warga dari sebuah desa di Provinsi Anhui, Cina, ini menderita sakit kepala dan sesak napas pascavaksinasi hepatitis A, baru-baru ini. Sebagian besar vaksin itu didapatkan tim dokter dari seorang pedagang gelap yang sampai sekarang masih belum diketahui keberadaannya.

Biro Administrasi Obat-obatan setempat menduga, vaksin yang diberikan kepada anak-anak itu telah tercemar dan rusak. Sebab, temperaturnya tidak dijaga dalam perjalanan. Di samping itu, polisi menemukan indikasi korupsi biaya vaksinasi. Sebanyak 2.500 anak di 19 sekolah dipungut biaya empat kali lebih mahal dari seharusnya.

Sejauh ini, para dokter diduga terlibat dengan ikut menikmati bonus dari keuntungan yang dihasilkan. Polisi juga menemukan, beberapa dokter sebenarnya tidak memenuhi kualifikasi sebagai tenaga medis.(TNA/Nlg)

Warga Sukabumi dan Cirebon Menolak Imunisasi Polio

http://www.liputan6.com/sosbud/?id=108288

31/08/2005 09:06 Polio
Warga Sukabumi dan Cirebon Menolak Imunisasi Polio


Liputan6.com, Sukabumi: Puluhan warga Sukabumi, Jawa Barat, menolak pemberian vaksinasi polio kepada anak mereka. Mereka tidak mengizinkan anaknya mendapat imunisasi. Alasannya sedang sakit, padahal anaknya dalam keadaan sehat.

Sejumlah pos pekan imunisasi nasional (PIN) di Desa Cidahu, Sukabumi, terlihat sepi. Warga sama sekali tak mengindahkan imbauan petugas kesehatan setempat. Kemungkinan warga menolak karena khawatir anaknya malah sakit seusai diimunisasi, seperti yang terjadi pada pelaksanaan PIN sebelumnya. Padahal, di desa ini, banyak warga yang menderita polio atau lumpuh layu.

Karena tak ada pengunjung, kader PIN terpaksa mendatangi satu per satu rumah warga. Mereka bahkan harus berjalan kaki mendaki bukit untuk menemui warga yang berada di lokasi terpencil. Tapi, sebagian warga tetap saja menolak anaknya diimunisasi.

Sikap yang sama ditunjukkan sejumlah ibu di Kampung Benda, Kelurahan Argasunya, Kota Cirebon. Mereka berdalih kondisi anaknya kurang sehat dan belum memerlukan imunisasi polio. Petugas Pusat Kesehatan Masyarakat Sitopeng terpaksa menyisir rumah penduduk.

Namun, kedatangan petugas selalu ditolak warga dengan berbagai alasan. Di antaranya ada yang mengatakan belum memerlukan imunisasi polio. Bahkan, ada juga yang mengaku dilarang suaminya, agar anaknya tidak diberikan imunisasi.

Target Departemen Kesehatan untuk mengimunisasi 24,6 juta anak di bawah usia lima tahun sepertinya tidak akan tercapai. Meski, Ibu Negara Ani Yudhoyono, dan sejumlah artis dilibatkan dalam kegiatan ini, di beberapa pos PIN di Jakarta, tingkat partisipasi warga justru menurun.

Di Kelurahan Kemanggisan, Jakarta Barat, sekitar 300 balita berhasil divaksin. Jumlah ini meningkat dibanding pelaksanaan sebelumnya yang hanya menjaring 100 balita. Kendati sudah menghadirkan artis dangdut Kristina, masih saja ada warga yang menolak mengimunisasikan anaknya. Mereka khawatir anaknya malah akan sakit. “Anak saya lagi kurang sehat. Takut meninggal,” kata Atiek, warga Kemanggisan.

Balita yang sedang menderita demam atau diare memang tidak diperkenankan diimunisasi. Namun, Yusharmen, Direktur Surveilans Epidemiologi Imunisasi Depkes, menjamin vaksin yang digunakan aman bagi anak yang sedang sakit. Sayangnya, penjelasan Depkes ini terkesan kurang disosialisasikan. Terbukti petugas di pos PIN banyak yang masih belum mengetahuinya [baca: Vaksin Polio Dijamin Aman ].

Bayi Tewas Setelah Diimunisasi Polio

http://www.liputan6.com/daerah/?id=113478

02/12/2005 08:25 Lintas Daerah
Bayi Tewas Setelah Diimunisasi Polio


Liputan6.com, Majalengka: Beberapa saat setelah mendapatkan imunisasi polio, Rabu silam, Rian yang baru berusia dua bulan langsung tewas. Sebelum mengikuti Pekan Imunisasi Nasional putaran ketiga di Majalengka, Jawa Barat itu, Rian diketahui menderita flu dan demam. Namun, orang tua korban menolak jenazah anaknya diotopsi polisi, Kamis (1/12), untuk mengetahui penyebab kematian Rian.

*****

Kekhawatiran tengah menyelimuti warga Kompleks Bhayangkara Cipocok Jaya, Serang, Banten. Pasalnya, sebanyak 40 ekor ayam milik Dadang mati mendadak, belum lama ini. Warga berharap petugas segera menyisir kandang-kandang ternak mereka serta melakukan vaksinasi semua unggas, untuk mengantisipasi wabah flu burung.

*****

Ike Aprilia, meninggal dunia karena demam berdarah di Semarang, Jawa Tengah, Rabu sore. Bocah berusia 4,5 tahun ini adalah korban tewas akibat demam berdarah yang ke-4 dalam dua pekan terakhir. Sebelumnya, Hesti, Nisa Destri dan Riyana Praditya juga meninggal karena penyakit yang sama [baca: Riyana Hanya Semalam Dirawat].

Tiga Balita Lumpuh Layu Setelah Diimunisasi

http://www.liputan6.com/daerah/?id=138238

05/03/2007 13:56 Lumpuh Layu
Tiga Balita Lumpuh Layu Setelah Diimunisasi


Liputan6.com, Brebes: Tiga anak berumur kurang dari lima tahun dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Brebes, Jawa Tengah, Senin (5/3). Mereka diduga menderita lumpuh layuh setelah mendapat imunisasi campak.

Menurut orang tua mereka, ketiga balita itu lemas setelah diimunisasi campak. Tapi menurut dokter, para bocah lumpuh karena penyakit lain seperti kejang-kejang atau infeksi pada jaringan syaraf.

Balita sakit setelah diimunisasi memang bukan pertama kalinya terjadi. Di Lamongan, Jawa Timur, dua balita lumpuh setelah mengikuti Pekan Imunisasi Nasional putaran III. Bahkan akhir 2005 seorang bayi berumur dua bulan meninggal setelah diimunisasi [baca: Dua Balita Lumpuh Setelah Diimunisasi Polio].(YAN/Sugihartono)

Seorang Balita Meninggal Setelah Diimunisasi

http://www.liputan6.com/daerah/?id=138294

06/03/2007 13:33 Kasus Kematian
Seorang Balita Meninggal Setelah Diimunisasi
Liputan6.com, Bandung: Seorang bocah berusia di bawah lima tahun bernama Dede Rita meninggal, baru-baru ini. Ita, ibu Dede menduga si bungsu tewas karena vaksin campak. Pasalnya Dede sakit setelah ikut imunisasi massal di Pusat Kesehatan Masyarakat Cipatat, Bandung, Jawa Barat, tiga hari silam. “Setelah ikut PIN (Pekan Imunisasi Nasional), panas badan. Dikompres, panasnya nggak turun-turun,” kata Ita.

Ita minta jenazah Dede diotopsi untuk memastikan penyebab kematian anaknya. Menurut Suganda Tanuwidjaja, Ketua Komite Daerah Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pascaimunisasi Jabar, vaksin campak aman bagi manusia. Kendati demikian, Suganda masih akan menunggu hasil otopsi untuk membuktikannya.

Berita mengenaskan juga datang dari Brebes, Jawa Tengah. Orang tua dari tiga balita setempat menderita lumpuh layuh setelah mendapat imunisasi campak. Namun menurut dokter, para bocah lumpuh karena penyakit lain seperti kejang-kejang atau infeksi pada jaringan syaraf [baca: Tiga Balita Lumpuh Layu Setelah Diimunisasi].(DNP/Patria Hidayat dan Taufik Hidayat)

Alkohol dalam Obat Batuk

http://www.halalguide.info/content/view/1040/836/

Alkohol dalam Obat Batuk
Sunday, 15 July 2007
ImageHalalGuide-Batuk merupakan salah satu penyakit yang cukup sering dialami banyak kalangan. Sehingga batuk diidentikan sebagai reaksi fisiologik yang normal. Batuk terjadi jika saluran pernafasan kemasukan benda-benda asing atau karena produksi lendir yang berlebih. Benda asing yang sering masuk ke dalam saluran pernafasan adalah debu. Gejala sakit tertentu seperti asma dan alergi merupakan salah satu sebab kenapa batuk terjadi. Obat batuk yang beredar di pasaran saat ini cukup beraneka ragam. Baik obat batuk berbahan kimia hingga obat batuk berbahan alami atau herbal. Jenisnya pun bermacam-macam mulai dari sirup, tablet, kapsul hingga serbuk (jamu). Terdapat persamaan pada semua jenis obat batuk tersebut, yaitu sama-sama mengandung bahan aktif yang berfungsi sebagai pereda batuk. Akan tetapi terdapat pula perbedaan, yaitu pada penggunaan bahan campuran/penolong. Salah satu zat yang sering terdapat dalam obat batuk jenis sirup adalah alkohol.

Temuan di lapangan diketahui bahwa sebagian besar obat batuk sirup mengandung kadar alkohol. Sebagian besar produsen obat batuk baik dari dalam negeri maupun luar negeri menggunakan bahan ini dalam produknya. Beberapa produk memiliki kandungan alkohol lebih dari 1 persen dalam setiap volume kemasannya, seperti Woods�, Vicks Formula 44, OBH Combi, Benadryl, Alphadryl Expectorant, Alerin, Caladryl, Eksedryl, Inadryl hingga Bisolvon.

Penggunaan alkohol dalam obat batuk merupakan polemik tersendiri, terutama di kalangan umat Islam. Bolehkah alkohol digunakan dalam obat batuk? Apakah sama statusnya dengan alkohol pada minuman keras? Sebenarnya apa sih fungsi alkohol ini?

Menurut pendapat salah seorang pakar farmasi Drs Chilwan Pandji Apt Msc, fungsi alkohol itu sendiri adalah untuk melarutkan atau mencampur zat-zat aktif, selain sebagai pengawet agar obat lebih tahan lama. Dosen Teknologi Industri Pertanian IPB itu menambahkan, Berdasarkan penelitian di laboratorium diketahui bahwa alkohol dalam obat batuk tidak memiliki efektivitas terhadap proses penyembuhan batuk, sehingga dapat dikatakan bahwa alkohol tidak berpengaruh secara signifikan terhadap penurunan frekuensi batuk yang kita alami.

Sedangkan salah seorang praktisi kedokteran, dr Dewi mengatakan, Efek ketenangan akan dirasakan dari alkohol yang terdapat dalam obat batuk, yang secara tidak langsung akan menurunkan tingkat frekuensi batuknya. Akan tetapi bila dikonsumsi secara terus menerus akan menimbulkan ketergantungan pada obat tersebut. Berdasarkan informasi tersebut sebenarnya alkohol bukan satu-satunya bahan yang harus ada dalam obat batuk. Ia hanya sebagai penolong untuk ekstraksi atau pelarut saja.

Sebenarnya pada kondisi darurat, obat yang mengandung bahan haram atau najis bisa digunakan. Definisi darurat dalam pandangan fiqih adalah bilamana nyawa seseorang sudah terancam dan pada kondisi tersebut tidak ada alternatif lain yang bisa menyembuhkannya. Pandangan darurat terhadap penggunaan alkohol dalam bahan obat-obatan saat ini merupakan hal yang cukup penting. Terutama dikaitkan dengan status halal dan haramnya. Berdasarkan hasil rapat komisi fatwa pada bulan Agustus 2000 disebutkan bahwa semua jenis minuman keras haram hukumnya, segala sesuatu yang mengandung alkohol itu dilarang karena haram dan minuman keras adalah minuman yang mengandung alkohol minimal 1 persen, termasuk dalam obat-obatan, tak terkecuali obat batuk.

Penggunaan alkohol berlebih akan menimbulkan efek samping. Chilwan Pandji mengatakan, konsumsi alkohol berlebih akan menimbulkan efek fisiologis bagi kesehatan tubuh, yaitu mematikan sel-sel baru yang terbentuk dalam tubuh. Selain itu juga efek sirosis dalam hati, dimana jika dalam tubuh manusia terdapat virus maka virus tersebut akan bereaksi dan menimbulkan penyakit hati (kuning). Selain haram, penggunaan alkohol dalam obat akan lebih banyak menimbulkan mudharat daripada manfaatnya. Chilwan Pandji menambahkan bahwa pada saat ini telah ditemukan berbagai macam obat alternatif yang memiliki fungsi sama dengan obat batuk yang mengandung alkohol tersebut.

Bahan obat batuk ini biasanya berasal dari tumbuhan atau sering disebut obat herbal, dimana diketahui tidak membutuhkan alkohol dalam pelarutan zat-zat aktif, tetapi dapat menggunakan air sebagai bahan pelarut. Obat batuk herbal yang berasal dari bahan alami ini pada dasarnya tidak berbahaya, dan dari segi kehalalannya sudah lebih dapat dibuktikan. Dengan banyaknya alternatif obat batuk non alkohol itu maka aspek darurat sudah tidak bisa digunakan lagi. Oleh karena itu sebaiknya kita cari obat batuk non alkohol dan mulai meninggalkan yang beralkohol. Dengan demikian obat yang kita konsumsi terbebas dari bahan haram dan najis.republikaonline

Obat-obatan Bermasalah

http://www.halalguide.info/content/view/1049/836/

Obat-obatan Bermasalah

PDF Print E-mail
Sunday, 05 August 2007
ImageDunia obat-obatan berkembang sedemikian pesat, mengikuti kualitas dan kuantitas penyakit yang tak kalah cepatnya berkembang. Aspek kehalalan kembali menjadi korban penelitian farmasi yang telah memanfaatkan apa saja, asalkan bisa memberikan kesembuhan. Termasuk penggunaan bahan dari babi, organ manusia, dan bahan haram lainnya. Pengkajian mengenai kehalalan obat ini banyak mengalami kesulitan dan hambatan, terutama berkaitan dengan minimnya informasi yang bisa diakses masyarakat umum. Pada obat-obatan yang beredar melalui resep dokter sangat sulit ditelusuri kandungan dan komposisi bahannya, karena akses yang didapatkannya juga sangat terbatas.

Beberapa temuan yang didapatkan di dunia obat antara lain adalah penggunaan bahan utama dari babi, penggunaan bahan tambahan dari babi, penggunaan bahan penolong dari babi, penggunaan embrio dan organ manusia serta penggunaan alkohol.

Insulin

Insulin merupsksn hormon yang digunakan untuk mengatur gula tubuh. Penderita diabetes memerlukan hormon insulin dari luar guna mengembalikan kondisi gula tubuhnya menjadi normal kembali. Insulin ini dimasukkan dengan cara penyuntikan atau injeksi. Menurut Prof Dr Sugijanto dari Universitas Airlangga, sumber insulin ini bisa berasal dari kelenjar mamalia atau dari mikroorganisme hasil rekayasa genetika. Jika dari mamalia, insulin yang paling mirip dengan insulin manusia adalah dari babi (lihat strukturnya).

Insulin manusia : C256H381N65O76S6 MW=5807,7

Insulin babi : C257H383N65O77S6 MW=5777,6

(hanya 1 asam amino berbeda)

Insulin sapi : C254H377N65O75S6 MW=5733,6

(ada 3 asam amino berbeda)

Di pasaran ada beberapa produsen yang mengeluarkan produk ini. Salah satu yang cukup terkenal adalah Mixtard yang diproduksi Novonordisk. Ada banyak tipe mixtard yang diproduksi, masing-masing dengan kode produk yang berbeda. Di dalamnya ada yang berasal dari manusia dengan perbanyakan melalui DNA recombinant dan proses mikroba serta berasal dari hewan (babi). Namun informasi mengenai kehalalannya sangat minim, sehingga dokterpun tidak mengetahui apakah ia bersumber dari babi atau bukan. Masalahnya, insulin dari DNA recombinant ini harganya lebih mahal dibandingkan yang berasal dari hewan.

Data dari International Diabetes Federation menyebutkan bahwa pada tahun 2003 insulin yang berasal dari manusia sebanyak 70%, disusul insulin babi sebanyak 17%, insulin sapi 8% dan sisanya 5% merupakan campuran antara babi dan sapi.

Heparin

Obat ini berfungsi sebagai anti koagulan atau anti penggumpalan pada darah. Banyak digunakan bagi penderita penyakit jantung untuk menghindari penyumbatan pada pembuluh darah. Ketika terjadi penyumbatan yang menyebabkan terhambatnya aliran darah ke otak, maka pasien akan mengalami stroke.

Obat jenis ini juga banyak di pasaran, hampir semuanya impor. Salah satu yang teridentifikasi berasal dari babi adalah Lovenox 4000 keluaran Aventis Pharma Specialities, Maisons-Alfort, Perancis dan diimpor oleh PT Aventis Pharma, Jakarta. Kandungan obat tersebut adalah heparin sodium yang bersumber dari babi. Hal ini diperkuat dengan registrasi Badan POM dengan nomor DKI0185600143A1 dan di dalam labelnya berisi keterangan ?Bersumber Babi?.

Sayangnya tulisan itu sangat kecil dan berada di kemasan, bukan pada jarum suntik. Sehingga ketika kemasan itu telah dibuang, maka dokter dan pasien yang bersangkutan tidak akan mengenalinya lagi.

Kapsul

Sebenarnya cangkang kapsul merupakan bahan penolong yang digunakan untuk membungkus sediaan obat. Namun cangkang ini ikut ditelan dan masuk ke dalam tubuh kita. Bahan pembuat cangkang kapsul adalah gelatin. Gelatin ini bersumber dari tulang atau kulit hewan, bisa dari sapi, ikan atau babi.

Sebenarnya Badan POM telah menegaskan bahwa gelatin yang masuk ke Indonesia hanya yang berasal dari sapi. Masalahnya, gelatin sapi ini tidal lantas halal begitu saja. Perlu dikaji apakah sapi tersebut disembelih secara Islam ataukah tidak. Masalah inilah yang sampai saat ini masih sulit dipecahkan.

Selain itu ada pula obat yang diimpor sudah dalam bentuk kapsul. Misalnya untuk beberapa obat dan multi vitamin, yang kebanyakan dibungkus dalam kapsul lunak (soft capsule). Kapsul lunak ini banyak yang dibuat dari gelatin babi karena lebih bagus dan murah. Dari data yang ada, banyak obat-obatan impor yang berbentuk kapsul, baik keras maupun lunak. Misalnya saja Yunnan Baiyao yang diproduksi oleh Yunnan Baiyao Group Co. Ltd., Cina, dan diimpor oleh PT Saras Subur Ayoe. Selain itu juga multi vitamin, vitamin A dosis tinggi dan vitamin E yang dikemas dalam kapsul lunak.

Alkohol

Alkohol banyak digunakan sebagai pelarut untuk melarutkan bahan-bahan aktif. Obat batuk merupakan salah satu yang banyak menggunakan alkohol. Bahan ini sering dikonotasikan dengan minuman keras yang diharamkan dalam Islam. Oleh karena itu penggunaan alkohol dalam obat batuk masih mengundang kontroversi di tengah masyarakat. Jurnal Halal LPPOM MUI

Tak Divaksin Meningitis, 600 Jamaah Gagal Umrah

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=329652&kat_id=6

Tak Divaksin Meningitis, 600 Jamaah Gagal Umrah
Saat vaksin efektif berfungsi, jamaah sudah kembali ke Tanah Air.
Rabu, 09 April 2008

JAKARTA–Lantaran belum divaksin meningitis, sebanyak 600 jamaah gagal berangkat umrah ke Tanah Suci. Jamaah dari tujuh travel umrah itu dijaring oleh aparat kepolisian di Bandara Soekarno Hatta atas nama Departemen Kesehatan pada Selasa (8/4).

Seorang ustadz pembimbing ibadah umrah mengatakan kartu kuning dari Depkesnya dianggap palsu. Sementara seorang jamaah kepada Republika mengaku tertahan karena belum punya kartu kuning, bukti vaksin. ”Yang menarik, dari informasi yang kami dapat, vaksinasi hanya boleh dilaksanakan di dua tempat, Bandara Halim Perdanakusuma dan Bandara Soekarno-Hatta,” jelas seorang jamaah.

Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (AMPHURI) melalui ketuanya, Baluki Ahmad, menyayangkan terjadinya kasus ini. Baluki, kepada wartawan di Jakarta, Selasa (8/4), mempertanyakan manfaat vaksin meningitis kepada jamaah umrah.

”Kami sangat menyesalkan sikap Depkes yang demikian frontal dan menggunakan tangan aparat kepolisian. Jumlah yang gagal berangkat ini bisa saja berkembang menjadi lebih banyak. Pasalnya, orang tidak lagi berani ambil paspor di Kedutaan Arab Saudi. Mereka takut digaruk dan ditangkapi lagi oleh pihak kepolisian,” tegas Baluki.

Sweeping atas keberadaan kartu kuning sebagai bukti vaksin meningitis bahkan menyentuh kawasan depan Kedutaan Arab Saudi. Puluhan aparat, kata Baluki, menangkapi orang yang baru keluar dari kedutaan untuk mengambil paspor yang telah diberikan visa sejak Senin (7/4).

Di Bandara, jamaah yang hendak berangkat umrah diminta melakukan vaksin meningitis secara mendadak di tempat. Biayanya Rp 150.000 per orang. Muhammad Ja’far dari PT Dua Ribu Wisata mengungkap akibat vaksin mendadak, jamaah merasakan ada keluhan, pusing, mata gelap, dan bahkan ada yang sampai menabrak meja dan dinding. ”Seorang jamaah kami harus mendapatkan 20 jahitan di kening karena menabrak meja dan tembok,” kata dia.

Lebih jauh Baluki mengatakan sejak tiga tahun lalu pihaknya mempertanyakan kepentingan vaksin meningitis pada jamaah umrah. ”Perjalanan umrah itu sangat pendek, berbeda dengan haji,” kata dia. Apalagi, menurut Baluki, jamaah dipaksa disuntik mendadak langsung di bandara. ”Vaksin ini punya masa inkubasi sepuluh hari. Jadi, efektifnya setelah 10 hari yang akan datang. Saat itu jamaah umrah sudah kembali ke Tanah Air. Apa manfaatnya,” kata Baluki lagi.

Menurut dia, sejauh manfaat riil dari vaksin meningitis terhadap jamaah umrah itu dapat diketahui, pengelola travel akan menerima. ”Sebelum Depkes menyiapkan perangkat dan memberi penjelasan, kami akan tetap menolak,” tegas Baluki. Dia juga menyoroti peran polisi yang menurut dia bertindak melampaui kewenangan.

Sementara itu, M Zahir, sekjen AMPHURI menegaskan bahwa Depkes harus malu pada kejadian ini. ”Saya baru dapat kabar ada 50 jamaah kami tidak mendapatkan vaksin itu. Vaksin tidak tersedia. Ini bagaimana. Kita baru bicara di Jakarta, bagaimana di daerah-daerah,” kata Zahir.

Sementara itu, Direktur Pengelolaan Biaya Ibadah Haji dan Sistem Informasi Haji Departemen Agama, Abdul Ghafur Djawahir, membenarkan adanya keharusan setiap jamaah umrah untuk melakukan vaksinasi meningitis dan mendapatkan Kartu Kuning bila ingin berangkat ke Tanah Suci. ”Tapi, itu wewenang Departemen Kesehatan. Jadi bukan ada pada kami,” tandas Ghafur kepada Republika, kemarin.

( osa/dam )

Cara Siti Fadilah Lawan Flu Burung

http://www.gatra.com/artikel.php?id=112817
Cara Siti Fadilah Lawan Flu Burung

Tamiflu Produksi Roche; Diborong (AP Photo/Ed Wray)Usaha keras tim medis Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta Timur, tidak sia-sia. Lewat perawatan dan pengobatan intensif, selama kurang lebih satu bulan, Sania, 38 tahun, dan putrinya, Dewi Nurmiati, 14 tahun, dinyatakan sembuh dari penyakit flu burung, Kamis dua pekan lalu. Sebelumnya, dua warga Kampung Godang, Kalideres, Jakarta Barat, itu tergolek lemah di ruang perawatan isolasi pasien flu burung.

Ketua tim penanggulangan flu burung Rumah Sakit (RS) Persahabatan, Dokter Mukhtar Ikhsan, mengatakan bahwa mulanya pasien mengeluh sakit dengan gejala batuk-batuk dan gatal di tenggorokan yang disertai demam tinggi. Obat pereda flu yang diminum pada 24 Januari lalu tidak membuat penyakit itu menyingkir. Lalu pasien dibawa ke RS Persahabatan.

Di rumah sakit yang ditunjuk pemerintah sebagai rumah sakit rujukan bagi penderita flu burung itu, dokter mendiagnosis, pasien diduga terserang virus berkode H5N1 atau sering pula disebut virus avian influenza. Yakni virus yang penularannya melalui unggas.

Untuk memperkuat diagnosis, darah pasien yang sudah dinyatakan suspect flu burung tadi diperiksa. Hasilnya, positif mengandung H5N1. Selanjutnya perawatan dan pengobatan dilakukan. Termasuk memasang ventilator atau alat bantu pernapasan. Berangsur-angsur kondisi pasien membaik. Kini ibu dan anak itu bisa menjalani aktivitas sehari-hari. “Hasil pemeriksaan tes darah di laboratorium selama tiga hari berturut-turut menunjukkan, darah pasien negatif H5N1,” ujar Mukhtar.

Boleh dibilang, Sania dan Dewi sungguh beruntung. Mengacu pada data yang dikeluarkan Posko Flu Burung, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Departemen Kesehatan (Ditjen P3L Depkes) pada 3 Februari lalu, di seantero Nusantara tercatat sebanyak 126 pasien yang dinyatakan positif flu burung. Usai dilakukan perawatan dan pengobatan, hanya 13 pasien atau kurang dari 10% yang berhasil sembuh. Selebihnya, 103 pasien atau hampir 90% dari total jumlah pasien meregang nyawa (lihat tabel).

Meski korban virus flu burung terus berjatuhan, ironisnya sampai saat ini belum ada obat mujarab yang sangup merontokkan virus mematikan itu. Memang ada obat Tamiflu atau oseltamivir untuk jenis generiknya. Tapi antivirus itu hanya berfungsi menekan perkembangan virus. Tamiflu akan efektif jika virus belum menyebar terlalu luas ke tubuh pasien. Atau sekurang-kurangnya 40 jam setelah pasien mengalami gejala terkena virus flu burung, seperti demam tinggi dan sesak napas.

Pencarian obat penawar virus flu burung ternyata telah lama menjadi perhatian serius pemerintah, khususnya Menteri Kesehatan, Siti Fadilah Supari. Sejak awal serangan virus flu burung di Indonesia terdeteksi, hingga merenggut korban jiwa Iwan Siswara pada Juli 2005, Siti Fadilah bertindak cepat. Langkah pertama yang dilakukan adalah mencegah penyebaran virus flu burung pada unggas. Ratusan unggas, seperti ayam, bebek, dan burung, yang diduga terjangkit virus flu burung, dimusnahkan dengan cara dibakar.

Langkah berikutnya, untuk menghadapi ancaman pandemi flu burung, Indonesia membutuhkan cadangan Tamiflu sedikitnya 10% dari jumlah penduduk yang mencapai 220 juta jiwa. Sehingga, kalau dihitung-hitung, pemerintah harus punya stok Tamiflu sebanyak 22 juta tablet.

Pemerintah pun menyiapkan dana sekitar Rp 200 milyar untuk membeli Tamiflu. Namun memenuhi kebutuhan sebanyak itu tidak mudah. Perusahaan farmasi, Roche, selaku produsen yang memegang hak paten Tamiflu, sedang kebanjiran pesanan.

Perusahaan farmasi yang berpusat di Swiss itu tidak hanya menerima pesanan dari Indonesia. Pesanan masuk dari hampir semua negara, tidak terkecuali Amerika Serikat. Negara adidaya yang belum punya kasus flu burung itu justru memborong Tamiflu dalam jumlah besar. Alasannya, buat stockpiling.

Gagal memesan ke Roche, Siti Fadilah tidak kehabisan akal. Ahli jantung dan pembuluh darah ini memerintahkan anak buahnya mencari Tamiflu hingga ke India. Negeri Mahatma Gandhi ini memiliki lisensi dari Roche untuk memproduksi oseltamivir, yakni tipe generiknya Tamiflu. Selain itu, Menter Kesehatan (Menkes) juga memerintahkan Indofarma menjadi pengimpor Tamiflu. Nantinya, perusahaan farmasi pelat merah ini diharapkan dapat segera memproduksi oseltamivir.

Penunjukan BUMN farmasi sebagai produsen obat flu burung itu diakui Indofarma. Menurut Direktur Produksi Indofarma, Yuliarti R. Merati, sejak 2005 Depkes menunjuk Indofarma untuk memproduksi oseltamivir. Namun baru mulai berproduksi berdasarkan pesanan Depkes pada 2006. “Hanya saja, pada 2007 belum ada pesanan lagi,” ujarnya.

Penat di benak Siti Fadilah belum mau beranjak. Selain masalah keterbatasan Tamiflu, perempuan kelahiran Solo, Jawa Tengah, itu dihadapkan pada persoalan ketidaktransparan sharing virus. Berdalih ada peraturan GISN (Global Influenza Surveillance Network), Indonesia diwajibkan menyerahkan sampel spesimen virus H5N1 ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Sampel itu dikirim ke laboratorium milik WHO CC (WHO-Collaborating Center) di Hong Kong.

Anehnya, meski virus berasal dari Indonesia, sebagai negara pemilik virus, Indonesia tidak pernah diberitahu tentang nasib virus tersebut. Apakah digunakan untuk penelitian pembuatan vaksin atau untuk penelitian pengembangan senjata biologis? Sejak terjadinya serangan flu burung, Indonesia telah mengirim 58 sampel virus. Namun, pada 20 Desember 2006, Siti Fadilah mengeluarkan kebijakan penghentian pengiriman sampel spesimen virus H5N1 ke WHO.

Keganjilan-keganjilan tadi mengusik nurani Siti Fadilah. Melalui buku berjudul Saatnya Dunia Berubah!, Menkes secara gamblang mengungkap suara kepedihan hatinya atas ketidakadlilan negara kaya dan WHO dalam kasus flu burung.

Soal pengiriman virus flu burung, misalnya, ia mendesak diberlakukannya MTA (material transfer agreement) atau kesepakatan pengiriman sampel virus. Isi MTA, antara lain, jika virus akan digunakan untuk keperluan komersial seperti pembuatan vaksin, negara pengirim harus ikut dilibatkan. Jika virus akan digunakan untuk pengembangan senjata biologis, negara pemilik virus punya hak veto untuk menolak.

Usulan Siti Fadilah itu dipicu fakta, virus H5N1 dari Indonesia yang dikirim ke laboratorium WHO CC, Hong Kong, ternyata diboyong ke Los Alamos National Laboratory di New Mexico, Amerika Serikat. Lab ini pernah digunakan untuk mengembangkan senjata biologis, antara lain bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang.

Lab yang berada di bawah Kementerian Energi Amerika Serikat itu diduga telah membuat data sequencing DNA virus H5N1 asal Indonesia. Diyakini, Los Alomos juga telah membuat seed virus yang lazim digunakan sebagai bahan baku pembuatan vaksin antivirus.

Buku yang dicetak dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris, itu sontak membuat gerah WHO dan Amerika Serikat. Melalui media Australia, The Age, pejabat WHO yang berwenang menangani flu burung, David Heymann, membantah tulisan Siti Fadilah yang dianggap memojokkan WHO itu. “Saya tidak mengerti, mengapa mereka (Los Alamos) akan membuat virus sebagai senjata biologis. (Virus) itu tidak menular dari manusia ke manusia,” kata Heymann.

Pemerintahan Bush ikut angkat bicara. Seperti dikutip The Age, juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Susan Stahl, membantah tuduhan bahwa Los Alamos menyimpan virus flu burung asal Indonesia. “Laboratorium (Los Alamos) itu tidak memiliki virus flu burung dari Indonesia atau negara lainnya,” ujar Stahl.

Siti Fadilah Supari tetap pada pendiriannya. Menurut Siti Fadilah, apa yang ditulis dalam bukunya adalah fakta, bukan rekayasa, apalagi kebohongan. “Yang terjadi, orang yang berbohong malah bisa diterima. Ketika ada orang yang bicara apa adanya, justru dibenci,” kata Siti Fadilah kepada Syamsul Hidayat dari Gatra.

Jangan heran, Siti Fadilah melanjutkan, jika akhirnya orang berbohong hanya karena ingin dipuji banyak orang. “Biarlah mereka (WHO dan Amerika) tidak senang terhadap saya. Yang penting saya jujur, ngomong apa adanya,” ujar peraih gelar doktor dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu.

Sujud Dwi Pratisto dan Aries Kelana
[Kesehatan, Gatra Nomor 17 Beredar Kamis, 6 Maret 2008]

Vaccine controversy – wikipedia

Vaccine controversy – wikipedia

http://en.wikipedia.org/wiki/Vaccine_controversy

From Wikipedia, the free encyclopedia

Jump to: navigation, search

A vaccine controversy is a dispute over the morality, ethics, effectiveness, or safety of vaccination. Medical opinion is that the benefits of preventing suffering and death from infectious diseases greatly outweigh the risks of adverse effects following immunization.[1][2] Some vaccination critics say that vaccines are ineffective against disease[3], that vaccine safety studies are inadequate, or raise other objections.[2][3] Some religious groups oppose vaccination as a matter of doctrine,[4] and some political groups oppose mandatory vaccination on the grounds of individual liberty.[5]

Contents

[hide]

<!–
//
// –>

[edit] Arguments for

Rubella fell sharply when immunization was introduced. CDC

Rubella fell sharply when immunization was introduced. CDC

A number of arguments regarding the benefits of mass vaccination have been advanced:

[edit] Life-saving

Mass vaccination campaigns were essential components of strategies that led to the eradication of smallpox, which once killed as many as every seventh child in Europe,[6] and the near-eradication of polio.[7] As a more modest example, incidence of invasive disease with Haemophilus influenzae, a major cause of bacterial meningitis and other serious disease in children, has decreased by over 99% in the U.S. since the introduction of a vaccine in 1988.[8]

[edit] Cost

Vaccines are a cost-effective and preventive way of promoting health, compared to the treatment of acute or chronic disease. In the U.S. during the year 2001, routine childhood immunizations against seven diseases were estimated to save over $40 billion per birth-year cohort in overall health care and social costs, and the societal benefit-cost ratio for these vaccinations was estimated to be 16.5.[9]

[edit] Population health

Incomplete vaccine coverage increases the risk of disease for the entire population, including those who have been vaccinated. One study found that doubling the number of unvaccinated individuals would increase the risk of measles in vaccinated children anywhere from 5–30%.[10] A second study provided evidence that the risk of measles and pertussis increased in vaccinated children proportionally to the number of unvaccinated individuals among them, again highlighting the evident efficacy of widespread vaccine coverage for public health.[11]

[edit] Events following reductions in vaccination

In several countries since 1960, reductions in the use of some vaccines were followed by increases in the diseases’ morbidity and mortality.

Stockholm, smallpox (1873–74)

An anti-vaccination campaign motivated by religious objections, by concerns about effectiveness, and by concerns about individual rights, led to the vaccination rate in Stockholm dropping to just over 40%, compared to about 90% elsewhere in Sweden. A major smallpox epidemic then started in 1873. It led to a rise in vaccine uptake and an end of the epidemic.[12]

UK, DPT (1970s–80s)

A 1974 report ascribed 36 reactions to whooping cough (pertussis) vaccine, a prominent public-health academic claimed that the vaccine was only marginally effective and questioned whether its benefits outweigh its risks, and extended television and press coverage caused a scare. Vaccine uptake in the UK decreased from 81% to 31% and pertussis epidemics followed, leading to deaths of some children. Mainstream medical opinion continued to support the effectiveness and safety of the vaccine; public confidence was restored after the publication of a national reassessment of vaccine efficacy. Vaccine uptake then increased to levels above 90% and disease incidence declined dramatically.[13]

Sweden, pertussis (1979–96)

In the vaccination moratorium period that occurred when Sweden suspended vaccination against whooping cough (pertussis) from 1979 to 1996, 60% of the country’s children contracted the potentially fatal disease before the age of ten years; close medical monitoring kept the death rate from whooping cough at about one per year.[14] Pertussis continues to be a major health problem in developing countries, where mass vaccination is not practiced; the World Health Organization estimates it caused 294,000 deaths in 2002.[15]

Netherlands, measles (1999–2000)

An outbreak at a religious community and school in The Netherlands illustrates the effect of measles in an unvaccinated population.[16] The population in the several provinces affected had a high level of immunization with the exception of one of the religious denominations who traditionally do not accept vaccination. The three measles-related deaths and 68 hospitalizations that occurred among 2961 cases in the Netherlands demonstrate that measles can be severe and may result in death even in industrialized countries.

Ireland, measles (2000)

From late 1999 until the summer of 2000, there was a measles outbreak in North Dublin, Ireland. At the time, the national immunization level had fallen below 80%, and in part of North Dublin the level was around 60%. There were more than 100 hospital admissions from over 300 cases. Three children died and several more were gravely ill, some requiring mechanical ventilation to recover.[17][18]

Nigeria, polio, measles, diphtheria (2001 onward)

In the early 2000s, conservative religious leaders in northern Nigeria, suspicious of Western medicine, advised their followers to not have their children vaccinated with oral polio vaccine. The boycott was endorsed by the governor of Kano State, and immunization was suspended for several months. Subsequently, polio reappeared in a dozen formerly polio-free neighbors of Nigeria, and genetic tests showed the virus was the same one that originated in northern Nigeria: Nigeria had become a net exporter of polio virus to its African neighbors. People in the northern states were also reported to be wary of other vaccinations, and Nigeria reported over 20,000 measles cases and nearly 600 deaths from measles from January through March 2005.[19] In 2006 Nigeria accounted for over half of all new polio cases worldwide.[20] Outbreaks continued thereafter; for example, at least 200 children died in a late-2007 measles outbreak in Borno State.[21]

Indiana, measles (2005)

A 2005 measles outbreak in Indiana was due to children whose parents had refused to have them vaccinated.[22] Most cases of pediatric tetanus in the U.S. occur in children whose parents objected to their vaccination.[23]

[edit] Arguments against

Since the inception of vaccination in the late 18th century, opponents have argued that vaccines do not work, that they are dangerous, that individuals should rely on personal hygiene instead, or that mandatory vaccinations violate individual rights or religious principles.[5]

[edit] Effectiveness

Some vaccine critics claim that there have never been any benefits to public health from vaccination.[24][25] They argue that all the reduction of communicable diseases which were rampant in conditions where overcrowding, poor sanitation, almost non-existent hygiene and a yearly period of very restricted diet existed, are reduced because of changes in conditions excepting vaccination.[25] As discussed below, the philosophies of some alternative medicine practitioners are incompatible with the idea that vaccines are effective.[26]

Children who survive diseases like diphtheria develop a natural immunity that lasts longer than immunity developed via vaccination. Even though the overall mortality rate is much lower with vaccination, the percentage of adults protected against the disease may also be lower.[27] Vaccination critics argue that for diseases like diphtheria the extra risk to older or weaker adults may outweigh the benefit of lowering the mortality rate among the general population.[3]

[edit] Safety

Few deny the vast improvements vaccination has made to public health; a more common concern is their safety.[28] All vaccines may cause side effects, and immunization safety is a real concern. Controversies in this area revolve around the question of whether the risks of adverse events following immunization outweigh the benefits of saving children from tragic outcomes of common diseases.[1] Critics point out that lack of evidence of harm is not the same as evidence of safety.[3]

[edit] Auto-immune disorders

If individual or multiple vaccinations were to “weaken the immune system”, as some vaccine critics contend, then one would expect an increase in hospitalizations for other infections following immunization. A large epidemiological study, involving all 805,206 children born in Denmark between 1990 and 2001, found no evidence that multiple-antigen vaccines, nor the increasing number of vaccinations given to children, led to a higher rate of infections.[29]

A 2006 study of health data from the Canadian province of Ontario (where influenza vaccines have been free since 2000), found a correlation between receiving a vaccination and developing Guillain-Barré syndrome (GBS) in individuals, but no increase of GBS in the general population corresponding to vaccination popularity. The authors concluded, “individuals who receive the influenza vaccine should be advised of the potential risk for GBS”.[30]

[edit] Aluminum

Aluminum compounds are used in many vaccines as immunologic adjuvants, to stimulate the immune system and increase the response of the vaccine. Although these vaccines can elicit redness, itching, and low-grade fever,[31] and aluminum as such is considered neurotoxic for humans, its use in vaccines has not been associated with serious adverse events.[32] In some cases aluminum-containing vaccines are associated with macrophagic myofasciitis (MMF), localized microscopic lesions containing aluminum salts that persist up to 8 years. However, recent case-controlled studies have found no specific clinical symptoms in individuals with biopsies showing MMF, and there is no evidence that aluminum-containing vaccines are a serious health risk or justify changes to immunization practice.[32]

[edit] Thiomersal

The organic mercury content of thiomersal in child vaccines has been alleged to contribute to autism, and thousands of parents in the United States have pursued legal compensation from a federal fund.[33]

In July 1999, the Centers for Disease Control (CDC) and the American Academy of Pediatrics (AAP) asked vaccine makers to remove thiomersal from vaccines as quickly as possible, and thiomersal has been phased out of most U.S. and European vaccines.[34] However, the 2004 Institute of Medicine (IOM) panel favoured rejecting any causal relationship between thiomersal-containing vaccines and autism.[35] The CDC and the AAP followed the precautionary principle, which assumes that there is no harm in exercising caution even if it later turns out to be unwarranted, but their 1999 action sparked confusion and controversy that has diverted attention and resources away from efforts to determine the causes of autism.[34] The current scientific consensus is that there is no convincing scientific evidence that thiomersal causes or helps cause autism.[36]

[edit] MMR vaccine

In the UK, the MMR vaccine was the subject of controversy after publication of a 1998 paper by Andrew Wakefield, et al., reporting a study of 12 children mostly with autism spectrum disorders with onset soon after administration of the vaccine.[37] During a 1998 press conference, Wakefield suggested that giving children the vaccines in three separate doses would be safer than a single vaccination. This suggestion was not supported by the paper, and several subsequent peer-reviewed studies have failed to show any association between the vaccine and autism.[38] Wakefield has been heavily criticized on scientific grounds and for triggering a decline in vaccination rates,[39] as well as on ethical grounds for the way the research was conducted.[40]

In 2004 the MMR-and-autism interpretation of the paper was formally retracted by 10 of Wakefield’s 12 co-authors.[41] The CDC,[42] the IOM of the National Academy of Sciences,[43] and the UK National Health Service[44] have all concluded that there is no evidence of a link between the MMR vaccine and autism. A systematic review by the Cochrane Library concluded that there is no credible link between the MMR vaccine and autism, that MMR has prevented diseases that still carry a heavy burden of death and complications, that the lack of confidence in MMR has damaged public health, and that design and reporting of safety outcomes in MMR vaccine studies are largely inadequate.[2]

[edit] Prenatal infection

There is evidence that schizophrenia is associated with prenatal exposure to rubella, influenza, and toxoplasmosis infection. For example, one study found a seven-fold increased risk of schizophrenia when mothers were exposed to influenza in the first trimester of gestation. This may have public health implications, as strategies for preventing infection include vaccination, antibiotics, and simple hygiene.[45] When weighing the benefits of protecting the woman and fetus from influenza against the potential risk of vaccine-induced antibodies that could conceivably contribute to schizophrenia, influenza vaccination for women of reproductive age still makes sense, but it is not known whether vaccination during pregnancy helps or harms.[46] The CDC’s Advisory Committee on Immunization Practices, the American College of Obstetricians and Gynecologists, and the American Academy of Family Physicians all recommend routine flu shots for pregnant women, for several reasons:[47]

  • their risk for serious influenza-related medical complications during the last two trimesters;
  • their greater rates for flu-related hospitalizations compared to nonpregnant women;
  • the possible transfer of maternal anti-influenza antibodies to children, protecting the children from the flu; and
  • several studies that found no harm to pregnant women or their children from the vaccinations.

Despite this recommendation, only 16% of healthy pregnant U.S. women surveyed in 2005 had been vaccinated against the flu.[47]

[edit] Individual liberty

Further information: Vaccination policy

Compulsory vaccination policies have provoked opposition at various times from people who say that governments should not infringe on the freedom of an individual to choose medications, even if the choice increases the risk of disease to others.[5][48] If a vaccination program successfully reduces the disease threat, it may reduce the perceived risk of disease enough so that an individual’s optimal strategy is to refuse vaccination at coverage levels below those optimal for the community.[49] If many exemptions are granted to mandatory vaccination rules, the resulting free rider problem may cause loss of herd immunity, substantially increasing risks even to vaccinated individuals.[50]

[edit] Religion

Vaccination has been opposed on religious grounds ever since it was introduced, even when vaccination is not compulsory. Early Christian opponents argued that if God had decreed that someone should die of smallpox, it would be a sin to thwart God’s will via vaccination.[4] Opposition continues to the present day, on various grounds. For example, the Family Research Council, a conservative U.S. Christian group, opposes mandatory vaccination for diseases typically spread via sexual contact, arguing that the possibility of disease deters sexual promiscuity.[51] Many governments allow parents to opt out of their children’s otherwise-mandatory vaccinations for religious reasons; some parents falsely claim religious beliefs to get vaccination exemptions.[52]

[edit] Alternative medicine

Many forms of alternative medicine are based on philosophies that oppose vaccination and have practitioners who voice their opposition. These include anthroposophy, some elements of the chiropractic community, non-medically trained homoeopaths, and naturopaths.[26]

Historically, chiropractic strongly opposed vaccination based on its belief that all diseases were traceable to causes in the spine, and therefore could not be affected by vaccines; Daniel D. Palmer, the founder of chiropractic, wrote, “It is the very height of absurdity to strive to ‘protect’ any person from smallpox or any other malady by inoculating them with a filthy animal poison.”[53] Vaccination remains controversial within chiropractic. The American Chiropractic Association and the International Chiropractic Association support individual exemptions to compulsory vaccination laws, and a 1995 survey of U.S. chiropractors found that about a third believed there was no scientific proof that immunization prevents disease.[54] The Canadian Chiropractic Association supports vaccination; however, surveys in Canada in 2000 and 2002 found that only 40% of chiropractors supported vaccination, and that over a quarter opposed it and advised patients against vaccinating themselves or their children.[53] Although most chiropractic writings on vaccination focus on its negative aspects,[53] antivaccination sentiment is espoused by what appears to be a minority of chiropractors.[54]

Several surveys have shown that some practitioners of homeopathy, particularly lay homeopaths, advise patients against vaccination.[55] For example, a survey of registered homeopaths in Austria found that only 28% considered immunization to be an important preventive measure, and 83% of homeopaths surveyed in Sydney, Australia did not recommend vaccination.[26] Many practitioners of naturopathy also oppose vaccination.[26]

[edit] Dispute resolution

Main article: Vaccine court

The U.S. Vaccine Injury Compensation Program (VICP) was created to provide a federal no-fault system for compensating vaccine-related injuries or death. It was established after a scare in the 1980s over the DPT vaccine: even though claims of side effects were later generally discredited, large jury awards had been given to some claimants of DPT vaccine injuries, and most DPT vaccine makers had ceased production. Claims against vaccine manufacturers must be heard first in the vaccine court.[33] By 2008 the fund had paid out 2,114 awards totaling $1.7 billion.[56] Thousand of autism-related claims are pending before the court, and have not yet been resolved.[33]

[edit] History of anti-vaccinationism

Portrait of Jenner

Portrait of Jenner

After the work of Edward Jenner, vaccination became widespread in the United Kingdom in the early 1800s.[57] Variolation, which had preceded vaccination, was banned in 1840 because of its greater risks. Public policy and successive Vaccination Acts first encouraged vaccination and then made it mandatory, with the highest penalty for refusal being a prison sentence. This was a significant change in the relationship between the British state and its citizens, and there was a public backlash. Initially this was focused against compulsory vaccination, and later included arguments that vaccination was dangerous and ineffective.

In the 19th century, the city of Leicester in the UK achieved a high level of isolation of smallpox cases and great reduction in spread compared to other areas. The mainstay of Leicester’s approach to conquering smallpox was to decline vaccination and put their public funds into sanitary improvements.[58][59] Bigg’s account of the public health procedures in Leicester, presented as evidence to the Royal Commission, refers to erysipelas, an infection of the superficial tissues which was a complication of any surgical procedure.

In the U.S., President Thomas Jefferson took a close interest in vaccination, alongside Dr. Waterhouse, chief physician at Boston. Jefferson encouraged the development of ways to transport vaccine material through the Southern states, which included measures to avoid damage by heat, a leading cause of ineffective batches. Smallpox outbreaks were contained by the latter half of the 19th century, a development widely attributed to vaccination of a large portion of the population.[60] Vaccination rates fell after this decline in smallpox cases, and the disease again became epidemic in the 1870s (see smallpox).

Anti-vaccination activity increased again in the U.S. in the late 19th century. After a visit to New York in 1879 by William Tebb, a prominent British anti-vaccinationist, the Anti-Vaccination Society of America was founded. The New England Anti-Compulsory Vaccination League was formed in 1882, and the Anti-Vaccination League of New York City in 1885.

The first arguments against vaccination were theological.[4] Some anti-vaccinationists still base their stance against vaccination with reference to the Bible.[61] In the early 19th century, the anti-vaccination movement drew members from across a wide range of society; more recently, it has been reduced to a predominantly middle-class phenomenon.[62] Arguments made against the safety and effectiveness of vaccines in the 21st century are similar to those of the early anti-vaccinationists.[5]

[edit] References

  1. ^ a b Bonhoeffer J, Heininger U (2007). “Adverse events following immunization: perception and evidence”. Curr Opin Infect Dis 20 (3): 237–46. doi:10.1097/QCO.0b013e32811ebfb0. PMID 17471032.
  2. ^ a b c Demicheli V, Jefferson T, Rivetti A, Price D (2005). “Vaccines for measles, mumps and rubella in children”. Cochrane Database Syst Rev 19 (4). doi:10.1002/14651858.CD004407.pub2. PMID 16235361. Lay summaryCochrane press release (PDF) (200510-19).
  3. ^ a b c d Halvorsen R (2007). The Truth about Vaccines. Gibson Square. ISBN 9781903933923.
  4. ^ a b c White AD (1896). “Theological opposition to inoculation, vaccination, and the use of anæsthetics“, A History of the Warfare of Science with Theology in Christendom. New York: Appleton. Retrieved on 200708-17.
  5. ^ a b c d Wolfe R, Sharp L (2002). “Anti-vaccinationists past and present“. BMJ 325 (7361): 430–2. doi:10.1136/bmj.325.7361.430. PMID 12193361.
  6. ^ Fenner F, Henderson DA, Arita I, Ježek Z, Ladnyi, ID (1988). Smallpox and its Eradication (PDF), Geneva: World Health Organization. ISBN 92-4-156110-6. Retrieved on 200709-04.
  7. ^ Sutter RW, Maher C (2006). “Mass vaccination campaigns for polio eradication: an essential strategy for success”. Curr Top Microbiol Immunol 304: 195–220. PMID 16989271.
  8. ^ Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (2002). “Progress toward elimination of Haemophilus influenzae type b invasive disease among infants and children—United States, 1998–2000“. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 51 (11): 234–7. PMID 11925021.
  9. ^ Zhou F, Santoli J, Messonnier ML et al. (2005). “Economic evaluation of the 7-vaccine routine childhood immunization schedule in the United States, 2001“. Arch Pediatr Adolesc Med 159 (12): 1136–44. PMID 16330737.
  10. ^ Salmon DA, Haber M, Gangarosa EJ, Phillips L, Smith NJ, Chen RT (1999). “Health consequences of religious and philosophical exemptions from immunization laws: individual and societal risk of measles”. JAMA 282 (1): 47–53. PMID 10404911.
  11. ^ Feikin DR, Lezotte DC, Hamman RF, Salmon DA, Chen RT, Hoffman RE (2000). “Individual and community risks of measles and pertussis associated with personal exemptions to immunization”. JAMA 284 (24): 3145–50. PMID 11135778.
  12. ^ Nelson MC, Rogers J (1992). “The right to die? Anti-vaccination activity and the 1874 smallpox epidemic in Stockholm”. Soc Hist Med 5 (3): 369–88. PMID 11645870.
  13. ^ Gangarosa EJ, Galazka AM, Wolfe CR et al. (1998). “Impact of anti-vaccine movements on pertussis control: the untold story”. Lancet 351 (9099): 356–61. doi:10.1016/S0140-6736(97)04334-1. PMID 9652634.
  14. ^ Allen A (2002). “Bucking the herd“. The Atlantic 290 (2): 40–2. Retrieved on 200711-07.
  15. ^ Centers for Disease Control and Prevention (2007). “Pertussis“, in Atkinson W, Hamborsky J, McIntyre L, Wolfe S: Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases. Washington, DC: Public Health Foundation.
  16. ^ Centers for Disease Control and Prevention (2000). “Measles outbreak—Netherlands, April 1999–January 2000“. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 49 (14): 299–303. PMID 10825086.
  17. ^Measles outbreak feared“, BBC News, 30 May 2000. Retrieved on 200711-23.
  18. ^ McBrien J, Murphy J, Gill D, Cronin M, O’Donovan C, Cafferkey M (2003). “Measles outbreak in Dublin, 2000”. Pediatr Infect Dis J 22 (7): 580–4. PMID 12867830.
  19. ^ Clements CJ, Greenough P, Schull D (2006). “How vaccine safety can become political – the example of polio in Nigeria” (PDF). Curr Drug Saf 1 (1): 117–9.
  20. ^ Wild poliovirus 2000–2008 (PDF). Global Polio Eradication Initiative (200802-05). Retrieved on 200802-11.
  21. ^‘Hundreds’ dead in measles outbreak“, IRIN, 200712-14. Retrieved on 200802-10.
  22. ^ Parker A, Staggs W, Dayan G et al. (2006). “Implications of a 2005 measles outbreak in Indiana for sustained elimination of measles in the United States”. N Engl J Med 355 (5): 447–55. PMID 16885548.
  23. ^ Fair E, Murphy TV, Golaz A, Wharton M (2002). “Philosophic objection to vaccination as a risk for tetanus among children younger than 15 years“. Pediatrics 109 (1): e2. PMID 11773570.
  24. ^ Dr. med. Gerhard Buchwald (Ref: The Vaccination Nonsense. ISBN 3-8334-2508-3 page 108. Asserts that vaccination has never provided any benefit.
  25. ^ a b Morrell, Peter (October 13, 2000). eLetters: Vaccination: the wider picture?. Canadian Medical Association Journal. Retrieved on 200711-23.
  26. ^ a b c d Ernst E (2001). “Rise in popularity of complementary and alternative medicine: reasons and consequences for vaccination”. Vaccine 20 (Suppl 1): S89–93. doi:10.1016/S0264-410X(01)00290-0. PMID 11587822.
  27. ^ Galazka AM, Robertson SE (1995). “Diphtheria: changing patterns in the developing world and the industrialized world”. Eur J Epidemiol 11 (1): 107–17. PMID 7489768.
  28. ^ The Lancet Infectious Diseases (2007). “Tackling negative perceptions towards vaccination”. Lancet Infect Dis 7 (4): 235. doi:10.1016/S1473-3099(07)70057-9. PMID 17376373.
  29. ^ Hviid A, Wohlfahrt J, Stellfeld M, Melbye M (2005). “Childhood vaccination and nontargeted infectious disease hospitalization”. JAMA 294 (6): 699–705. PMID 16091572.
  30. ^ Juurlink DN, Stukel TA, Kwong J, et al (2006). “Guillain-Barré syndrome after influenza vaccination in adults: a population-based study”. Arch. Intern. Med. 166 (20): 2217–21. doi:10.1001/archinte.166.20.2217. PMID 17101939.
  31. ^ Baylor NW, Egan W, Richman P (2002). “Aluminum salts in vaccines—US perspective”. Vaccine 20 (Suppl 3): S18–23. doi:10.1016/S0264-410X(02)00166-4. Corrigendum (2002). Vaccine 20 (27–8): 3428. doi:10.1016/S0264-410X(02)00307-9 PMID 12184360.
  32. ^ a b François G, Duclos P, Margolis H et al. (2005). “Vaccine safety controversies and the future of vaccination programs”. Pediatr Infect Dis J 24 (11): 953–61. PMID 16282928.
  33. ^ a b c Sugarman SD (2007). “Cases in vaccine court—legal battles over vaccines and autism“. N Engl J Med 357 (13): 1275–7. PMID 17898095.
  34. ^ a b Offit PA (2007). “Thimerosal and vaccines—a cautionary tale“. N Engl J Med 357 (13): 1278–9.
  35. ^ Immunization Safety Review Committee (2004). Immunization Safety Review: Vaccines and Autism. The National Academies Press. ISBN 0-309-09237-X.
  36. ^ Doja A, Roberts W (2006). “Immunizations and autism: a review of the literature”. Can J Neurol Sci 33 (4): 341–6. PMID 17168158.
  37. ^ Wakefield A, Murch S, Anthony A et al. (1998). “Ileal-lymphoid-nodular hyperplasia, non-specific colitis, and pervasive developmental disorder in children“. Lancet 351 (9103): 637–41. doi:10.1016/S0140-6736(97)11096-0. PMID 9500320. Retrieved on 200709-05.
  38. ^ National Health Service (2004). MMR: myths and truths. Retrieved on 200709-03.
  39. ^Doctors issue plea over MMR jab“, BBC News, 200606-26. Retrieved on 200711-23.
  40. ^MMR scare doctor ‘paid children’“, BBC News, 200707-16. Retrieved on 200711-23.
  41. ^ Murch SH, Anthony A, Casson DH et al. (2004). “Retraction of an interpretation”. Lancet 363 (9411): 750. doi:10.1016/S0140-6736(04)15715-2. PMID 15016483.
  42. ^ Autism and Vaccines Theory, from the U.S. Centers for Disease Control. Accessed June 13, 2007.
  43. ^ Immunization Safety Review: Vaccines and Autism. From the Institute of Medicine of the National Academy of Sciences. Report dated May 17, 2004; accessed June 13, 2007.
  44. ^ MMR Fact Sheet, from the United Kingdom National Health Service. Accessed June 13, 2007.
  45. ^ Brown AS (2006). “Prenatal infection as a risk factor for schizophrenia“. Schizophr Bull 32 (2): 200–2. doi:10.1093/schbul/sbj052. PMID 16469941.
  46. ^ Arehart-Treichel J (2007). “Schizophrenia risk factor found in maternal blood“. Psychiatr News 42 (3): 22.
  47. ^ a b Fiore AE, Shay DK, Haber P et al. (2007). “Prevention and control of influenza: recommendations of the Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), 2007“. MMWR Recomm Rep 56 (RR-6): 1-54.
  48. ^ Colgrove J, Bayer R (2005). “Manifold restraints: liberty, public health, and the legacy of Jacobson v Massachusetts“. Am J Public Health 95 (4): 571–6. doi:10.2105/AJPH.2004.055145. PMID 15798111.
  49. ^ Fine PE, Clarkson JA (1986). “Individual versus public priorities in the determination of optimal vaccination policies”. Am J Epidemiol 124 (6): 1012–20. PMID 3096132.
  50. ^ May T, Silverman RD (2005). “Free-riding, fairness and the rights of minority groups in exemption from mandatory childhood vaccination” (PDF). Hum Vaccin (1): 12–5. PMID 17038833.
  51. ^ Fortson D. “Moral majority take on GSK and Merck over cancer drugs“, The Independent, 200606-11. Retrieved on 200611-02.
  52. ^ LeBlanc S. “Parents use religion to avoid vaccines“, USA Today, 200710-17. Retrieved on 200711-24.
  53. ^ a b c Busse JW, Morgan L, Campbell JB (2005). “Chiropractic antivaccination arguments”. J Manipulative Physiol Ther 28 (5): 367–73. doi:10.1016/j.jmpt.2005.04.011. PMID 15965414.
  54. ^ a b Campbell JB, Busse JW, Injeyan HS (2000). “Chiropractors and vaccination: a historical perspective“. Pediatrics 105 (4): e43. PMID 10742364.
  55. ^ Schmidt K, Ernst E (2003). “MMR vaccination advice over the Internet”. Vaccine 21 (11-12): 1044-7. PMID 12559777.
  56. ^ National Vaccine Injury Compensation Program statistics reports. Health Resources and Services Administration (200801-08). Retrieved on 200801-22.
  57. ^ Ellner P (1998). “Smallpox: gone but not forgotten.”. Infection 26 (5): 263–9. PMID 9795781.
  58. ^ Eddy TP (1992). “The Leicester anti-vaccination movement”. Lancet 340 (8830): 1298. PMID 1359363.
  59. ^ Fourth and other reports of the Royal Commission into smallpox and Leicester 1871 et seq
  60. ^ (U.S.) Center for Disease Control
  61. ^ Vaccination – A Crime Against Humanity. The Associated Jehovah’s Witnesses for Reform on Blood. Retrieved on 200611-02.
  62. ^ Fitzpatrick M (2005). “The anti-vaccination movement in England, 1853–1907”. J R Soc Med 98 (8): 384–5.

[edit] Further reading

Anti-vaccinationist publications
  • 1884 Compulsory Vaccination in England by William Tebb
  • 1885 The Story of a Great Delusion by William White
  • 1898 Vaccination A Delusion by Alfred Russel Wallace
  • 1936 The Case Against Vaccination by M. Beddow Bayly M.R.C.S., L.R.C.P.
  • 1951 The Truth About Vaccination and Immunization by Lily Loat
  • 1957 The Poisoned Needle by Eleanor McBean
  • 1990 Universal Immunization: Miracle or Masterful Mirage by Dr. Raymond Obomsawin
  • 1993 Vaccination: 100 years of orthodox research shows that vaccines represent an assault on the immune system by Viera Scheibner. ISBN 0-646-15124-X
  • 2000 Behavioural Problems in Childhood by Viera Scheibner. ISBN 0-9578007-0-3

[edit] External links

Nigella sativa – Wikipedia

Nigella sativa

From Wikipedia, the free encyclopedia

Jump to: navigation, search

Nigella sativa
Nigella sativa (left) and Nigella damascena (right)

Nigella sativa (left) and Nigella damascena (right)
Scientific classification
Kingdom: Plantae
Division: Magnoliophyta
Class: Magnoliopsida
Order: Ranunculales
Family: Ranunculaceae
Genus: Nigella
Species: N. sativa
Binomial name
Nigella sativa
L.

Nigella sativa is an annual flowering plant, native to southwest Asia. It grows to 20–30 cm tall, with finely divided, linear (but not thread-like) leaves. The flowers are delicate, and usually coloured pale blue and white, with 5–10 petals. The fruit is a large and inflated capsule composed of 3–7 united follicles, each containing numerous seeds. The seed is used as a spice.

Nigella sativa seed

Nigella sativa seed

In English, Nigella sativa seed is variously called fennel flower, nutmeg flower, Roman coriander, blackseed, black caraway, or black onion seed. Other names used, sometimes misleadingly, are onion seed and black sesame, both of which are similar-looking but unrelated. The seeds are frequently referred to as black cumin (as in Bengali কালো জিরা kalo jira), but this is also used for a different spice, Bunium persicum. The scientific name is a derivative of Latin niger “black”.[1] An older English name gith is now used for the corncockle. In English-speaking countries with large immigrant populations, it is also variously known as kalonji (Hindi कलौंजी kalauṃjī or कलोंजी kaloṃjī), kezah Hebrew קצח), chernushka (Russian), çörek otu (Turkish), habbat albarakah (Arabic حبه البركة ḥabbatu l-barakah “seed of blessing”) or siyah daneh (Persian سیاه‌دانه siyâh dâne).

A commercial pack of kalonji

A commercial pack of kalonji

This potpourri of vernacular names for this plant reflects that its widespread use as a spice is relatively new in the English speaking world[citation needed], and largely associated with immigrants from areas where it is well known. Increasing use is likely to result in one of the names winning out, hopefully one which is unambiguous.

Nigella sativa has a pungent bitter taste and a faint smell of strawberries. It is used primarily in candies and liquors. The variety of naan bread called Peshawari naan is as a rule topped with kalonji seeds. In herbal medicine, Nigella sativa has hypertensive, carminative, and anthelminthic properties[citation needed]. They are eaten by elephants to aid digestion.[citation needed]

Contents

[hide]

//<![CDATA[
if (window.showTocToggle) { var tocShowText = “show”; var tocHideText = “hide”; showTocToggle(); }
//]]>

[edit] Historical accounts

According to Zohary and Hopf, archeological evidence about the earliest cultivation of N. sativa “is still scanty”, but they report that N. sativa seeds have been found in several sites from ancient Egypt, including Tutenkhamen‘s tomb.[1] Although its exact role in Egyptian culture is unknown, it is known that items entombed with a pharaoh were carefully selected to assist him in the after life.

The earliest written reference to N. sativa is thought to be in the book of Isaiah in the Old Testament where the reaping of nigella and wheat is contrasted (Isaiah 28: 25, 27). Easton’s Bible dictionary states that the Hebrew word ketsah refers to without doubt to N. sativa (although not all translations are in agreement). According to Zohary and Hopf, N. sativa “was another traditional condiment of the Old World during classical times; and its black seeds were extensively used to flavour food.”[1]

[edit] Use in folk medicine

Nigella sativa has been used for medicinal purposes for centuries, both as a herb and pressed into oil, in Asia, Middle East, and Africa. It has been traditionally used for a variety of conditions and treatments related to respiratory health, stomach and intestinal health, kidney and liver function, circulatory and immune system support, and for general well-being.

In Islam, it is regarded as one of the greatest forms of healing medicine available. Prophet Muhammad once stated that the black seed can heal every disease—except death—as recounted in the following hadith:

Narrated Khalid bin Sa’d:We went out and Ghalib bin Abjar was accompanying us. He fell ill on the way and when we arrived at Medina he was still sick. Ibn Abi ‘Atiq came to visit him andsaid to us, “Treat him with black cumin. Take five or seven seeds and crush them (mix the powder with oil) and drop the resulting mixture into both nostrils, for ‘Aisha has narrated to me that she heard the Prophet saying, ‘This black cumin is healing for all diseases except As-Sam.’ ‘Aisha said, ‘What is As-Sam?’ He said, ‘Death.’ ” (Bukhari)

Ibn Sina, most famous for his volumes called The Canon of Medicine, refers to nigella as the seed that stimulates the body’s energy and helps recovery from fatigue and dispiritedness. It is also included in the list of natural drugs of ‘Tibb-e-Nabavi’, or “Medicine of the Prophet (Muhammad)”, according to the tradition “hold onto the use of the black seeds for in it is healing for all diseases except death” (Sahih Bukhari vol. 7 book 71 # 592).

In the Unani Tibb system of medicine, N. sativa is regarded as a valuable remedy for a number of diseases.

The seeds have been traditionally used in the Middle East and Southeast Asian countries to treat ailments including asthma, bronchitis, rheumatism and related inflammatory diseases, to increase milk production in nursing mothers, to promote digestion and to fight parasitic infections. Its oil has been used to treat skin conditions such as eczema and boils and to treat cold symptoms. Its many uses have earned nigella the Arabic approbation ‘Habbatul barakah’, meaning the seed of blessing.

[edit] Scientific studies

Black cumin oil contains nigellone, which protects guinea pigs from histamine-induced bronchial spasms[citation needed] (perhaps explaining its use to relieve the symptoms of asthma, bronchitis, and coughing).

The presence of an anti-tumor sterol, beta sitosterol, lends credence to its traditional use to treat abscesses and tumors of the abdomen, eyes, and liver.[2]

[edit] As an anti-parasitic

Anticestodal effect of N. sativa seeds was studied in children naturally infected with the respective worm. A single oral administration of 40 mg/kg of N. sativa seeds and equivalent amount of its ethanolic extract were effective in reducing the egg count in the faeces, with a comparable effect to niclosamide. The crude extracts also did not produce any adverse side effects from all the doses tested.[3]

In 1998, Korshom et al. investigated the anti-trematodal activity of N.sativa seeds against a ruminant fluke (Paramphistomum) in sheep.[4] The methanol extract (1 ml/kg) and powder (200 mg/kg) showed high efficacy, comparable to Hapadex (netobimin, 20 mg/kg). (NOTE: methanol is transformed in the body to formaldehyde, and such raw extracts would not be used in a formulated product.)

In 2005, Azza et al. studied the anti-schistosomicidal properties of aqueous extract of N. sativa seeds against Schistosoma mansoni miracidia, cercariae, and the adult worms in vitro. It showed strong biocidal effects against all stages of the parasite and also inhibited egg-laying of adult female worms. [5]

In 2007, Abdulelah and Zainal-Abidin investigated the anti-malarial activities of different extracts of N.sativa seeds against P. berghei. Results indicated strong biocidal effects against the parasite.[6][7]

[edit] See also

[edit] References

  1. ^ a b (2000) Domestication of plants in the Old World, 3, Oxford University Press, p. 206. ISBN 0198503563.
  2. ^ Look for sterols at http://glycoscience.org/glycoscience/linksPage/links.html Click on the 4th listing for the GlycoScience link. (Link is dead of 2008-1-12)
  3. ^ Akhtar, M.S. & Rifaat, S. 1991. Field trial of Saussurea lappa roots against nematodes and Nigella sativa seeds against cestodes in children. Journal of the Pakistan Medical Association 41: 185–187.
  4. ^ Korshom M., Moghney, A.A. & Mandour, A. 1998. Biochemical and parasitological evaluation of Nigella sativa against ruminant fluke (Paramphistomum) in sheep as compared with trematocide “Hapadex”. Assiut. Vaternary Med. J. 39 (78): 238–244.
  5. ^ Azza, M. M., Nadia, M. M. & Sohair, S. M. 2005. Sativa seeds against Schistosoma mansoni different stages. Mem. Inst. Oswaldo. Cruz. Rio de Janeiro 100(2): 205–211.
  6. ^ Abdulelah H.A.A. & Zainal-Abidin B.A.H. 2007. In vivo anti-malarial tests of Nigella sativa (black seed) different extracts. American Journal of Pharmacology and Toxicology 2 (2): 46-50, 2007.
  7. ^ Abdulelah H.A.A. & Zainal-Abidin B.A.H. 2007. Curative and prophylactic anti-malarial activities of Nigella sativa (black seed) in mice. Malaysian Journal of Medical Sciences 14: 209.

[edit] External links

Yang Menjaga Benteng Kekebalan

http://www.trubus-online.co.id/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=4&artid=1190

Yang Menjaga Benteng Kekebalan
Oleh trubusid
Senin, 03 Maret 2008 12:12:20

Ingat kisah prajurit Orc dalam Lord of The Ring? Orc menyerang benteng Minas Tirith milik Kerajaan Gondor. Serangan itu gagal karena kuatnya pertahanan Gondor yang dibantu kerajaan Rohan. Maka ribuan pasukan Orc kocar-kacir dan benteng Minas Tirith pun berdiri tegak. Minas Tirith bagai tubuh kita yang terus mendapat gempuran dari beragam virus atau bakteri.

Virus, bakteri, dan organisme mikroskopis lain berupaya sekuat tenaga untuk menyerang ‘benteng pertahanan’ tubuh. Keberhasilan serangan organisme patogen itu dipengaruhi oleh ketangguhan sistem kekebalan tubuh yang menjaga benteng pertahanan. Setiap menit terjadi pertempuran abadi antara sistem kekebalan tubuh dan pasukan musuh berupa penyakit.

‘Jika ada benda asing masuk, sistem imun mencoba mengenali musuhnya. Jika diidentifikasi sebagai benda asing, sel imun mempersiapkan senjata dan menyerang,’ kata Prof Dr Sumali Wiryowidagdo, farmakolog dari Universitas Indonesia. Yang pertama kali bertemu musuh adalah sel makrofag. Sel itu memproduksi fagositosis untuk menelan musuh.

Kekebalan tubuh itu dapat menjalankan fungsinya jika imunitas dalam kondisi normal. Imunitas dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan kondisi lingkungan. Jika imunitas terlalu rendah, mesti ditingkatkan dan sebaliknya. ‘Hanya saja, kadang tubuh gagal menormalkan sistem imunnya sendiri,’ kata Sumali. Salah satu cara menormalkan sistem imun menggunakan imunomodulator.
Alami

Berbagai jenis obat berperan meningkatkan kekebalan seperti siklosprin, dan azathiopin. ‘Namun, tren kembali ke alam membuat konsumen mencari produk-produk berbahan alami ketimbang obat kimia,’ kata Deny Wahyudi, manajer penjualan Kimia Farma. Kini banyak dokter meresepkan herbal. Saat ini di pasaran banyak beredar suplemen untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Sekadar menyebut beberapa produk imunomodulator adalah Nature Firstine MultiStart Woman, Nature Firstine Multi Start Man, Fituno, Vipro-G, Ester C, Stimuno, dan Echinacea.

Dua yang disebut pertama diproduksi oleh Kimia Farma ditujukan untuk manusia lanjut usia yang kekebalan tubuhnya kembali menurun. Dampaknya stamina berkurang dan mudah terserang penyakit. Perempuan menua menghadapi menopause yang membuat tubuh lemah lunglai, kulit mengering, dan mengeriput. Multi StartMan dan MultiStart Woman mengandung cordysep, spirulina, dan fitonutrien.

Sedangkan Fituno diperuntukkan untuk orang-orang yang aktif bekerja tanpa kenal lelah, sering bergumul dengan polusi udara, mengkonsumsi makanan cepat saji berpengawet, dan mengandung pewarna buatan. Dengan kondisi seperti itu, tubuh yang terus-menerus digempur bakal ambruk. Bahan-bahan penyusun Fituno seperti echinacea, mengkudu, dan meniran sohor sebagai imunomodulator unggul. ‘Semua bahannya sudah teruji klinis, dan bahan-bahannya diseleksi dengan baik,’ kata Eris Setiawan, manajer produksi Fituno di Kimia Farma.

Menurut Dr Suprapto Maat, dari Universitas Airlangga, meniran kaya flavonoid dan mempunyai reseptor pada sistem imun. Biasanya reseptor itu dalam bentuk gula ramnose dan arabinose, setelah itu merangsang sehingga gen aktif. Selain itu beberapa golongan rimpang seperti jahe merah, jintan, dan temulawak juga bisa dijadikan peningkat kekebalan alias imunomodulator.

‘Di Timur Tengah jintan hitam kerap digunakan sebagai peningkat daya tahan tubuh,’ kata Roni Kusworo, manajer pemasaran CV Al Manar Herbafit, Yogyakarta. Khasiat sebagai ketahanan tubuh, jintan hitam dikenal sejak peradaban Mesir kuno. Biji jintan hitam pernah ditemukan dalam peti jenazah raja Mesir kuno bernama Tutankhamen. Jintan berperan mencegah jenazah membusuk karena kontaminasi bakteri dan virus.
Diuji

‘Walau hampir semua herbal memiliki flavonoid, tetapi tidak semua jenis flavonoid bisa dijadikan imunomodulator,’ kata Suprapto. Sebagai contoh flavonoid pada daun katuk hanya berfungsi sebagai peningkat air susu ibu, tetapi tidak bisa diandalkan menjadi peningkat kekebalan tubuh. Oleh sebab itu, untuk mendapatkan kekebalan tubuh dari herbal perlu pengujian terlebih dahulu.

Selain itu penggunaan imunomodulator juga ada batasan. ‘Jika berlebihan dapat menimbulkan beragam penyakit,’ ujar dr Arijanto Jonosewojo SpPD, spesialis penyakit dalam RS Dr Soetomo, Surabaya. Misalnya terlalu banyak mengkonsumsi vitamin C menyebabkan terbentuknya batu ginjal. Selain itu, imunomudulator itu ditabukan bagi penderita alergi. ‘Sebab, penderita alergi hipersensitif. Pemberian imunomodulator membuat kerja imun tubuh berlebihan,’ katanya. Obat imunomodulator juga tidak diberikan pada penderita lupus lantaran sistem imun sedang kacau.

‘Tubuh tidak boleh bergantung pada asupan luar untuk meningkatkan kekebalan tubuh,’ kata Lukas Tersono Adi, herbalis dari Herbacure, produsen ramuan untuk kekebalan tubuh. Sebab, tubuh malas untuk memproduksi kekebalan tubuh. Sebaiknya, rutinitas mengkonsumsi herbal dijeda satu bulan agar sel kekebalan tubuh beradaptasi dan membantu memperbaiki kekebalan tubuh.

Imunomodulator bukan sekadar ‘prajurit’ yang menjaga benteng kekebalan tubuh. Ia juga menjaga keseimbangan komponen tubuh. Usia sel-sel tubuh ada batasnya sehingga akan mati dalam waktu tertentu. Sel yang mati dibersihkan oleh sistem kekebalan tubuh. Jika fungsi keseimbangan terganggu, sistem kekebalan melihat struktur dalam tubuh sebagai benda asing sehingga respons ditujukan pada tubuh sendiri.

Keadaan itu disebut sebagai otoimun. ‘Bukan berarti yang mengkonsumsi imunomodulator lantas imunnya berlebihan. Yang benar, jumlah kekebalan terkontrol selalu seimbang,’ kata Drs W Djarot Sudiro, ahli tumbuhan obat di RS Dr Soetomo, Surabaya. Sedangkan fungsi kekebalan lainnya adalah perondaan. Sebagian sel-sel imun memiliki kemampuan meronda ke seluruh bagian tubuh.

Jika bertemu dengan sel-sel yang berubah sifat menjadi sel ganas dan berpotensi menjadi kanker, sel peronda membinasakannya. Itu sebabnya, terjangkitnya kanker disebabkan sel-sel imun yang bertugas sebagai peronda terganggu atau tidak bisa bekerja secara baik. Sehingga tidak ada yang melawan sekaligus mengalahkan sel-sel tubuh yang mengalami mutasi menjadi sel ganas.

Menurut dr Noor Wijayahadi, MKes PhD, farmakolog Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, imunomodulator meningkatkan sistem imun dengan cara produksi jumlah sel limfosit sel T dan sel B. ‘Jika sel T berfungsi melawan kanker, sel B berguna menghadang infeksi,’ kata Noor. Imunomodulator juga meningkatkan sekresi sitokin sekaligus merangsang sel T berkembang. Begitu pentingnya menjaga benteng kekebalan tubuh agar sehat bukan sekadar impian. (Vina Fitriani/Peliput: Lastioro Anmi Tambunan & Nesia Artdiyasa)

Tanaman Obat untuk penyakit Infeksi

http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/search.php

Nama penyakit yang anda cari: infeksi

No Nama Tanaman Nama Latin Nama Lokal/Daerah
1 Daun duduk Desmodium triquetrum [L.] D.C. Genteng cangkeng, ki congcorang, potong kujang,; cen-cen (Sunda), ), daun duduk, sosor bebek, gulu walang,; Gerji,cocor bebek (Jawa). daun duduk (Sumatera); Three-flowered desmodium (Inggris).;
2 Daun Sendok Plantago mayor L. Ki urat, ceuli, c. uncal (Sunda), meloh kiloh, otot-ototan,; Sangkabuah, sangkabuah, sangkuah, sembung otot,; suri pandak (Jawa). daun urat. daun urat-urat, daun sendok,; Ekor angin, kuping menjangan (Sumatera). ; Torongoat (Minahasa). ; Che qian cao (China), ma de, xa tien (Vietnam),; Weegbree (Belanda), plantain, greater plantain, ; Broadleaf plantain, rat’s tail plantain, waybread,; White man’s foot (Inggris).;
3 Kemuning Murraya paniculata [L..] Jack. Kamuning (Sunda), kemuning, kumuning (Jawa).; Kajeni, kemuning, kemoning (Bali), kamoneng (Madura),; Kamuning (Menado, Makasar), kamoni (Bare), palopo (Bugis).; Kamuni (Bima). eseki, tanasa, kamone, kamoni (Maluku).; Jiu li xiang, yueh chu (China), Orange jessamine (Inggris).;
4 Sambiloto Andrographis paniculata Ness. Ki oray, ki peurat, takilo (Sunda). bidara, sadilata, sambilata,; takila (Jawa). pepaitan (Sumatra).; Chuan xin lian, yi jian xi, lan he lian (China), xuyen tam lien,; cong cong (Vietnam). kirata, mahatitka (India/Pakistan).; Creat, green chiretta, halviva, kariyat (Inggris).;
5 Teh Camellia sinensis [L.] Kuntze Enteh (Sunda).; Pu erh cha (China), theler (Perancis), teestrauch (Jerman),; Te (Itali), cha da India (Portugis), tea (Inggris).;
6 Boroco Celosia argentea Linn. Bayam ekor belanda, Bayam kucing, Kuntha, Baya kasubiki; Qing xiang zi (China).;
7 Bunga Matahari Helianthus annuus Linn. bungngong matahuroi, bungka matahari, purbanegara; Bunga panca matoari, bunga teleng matoari, Sungeng; kembang sarengenge, kembhang mataare, bungga ledomata; kembang sangenge, kembhang tampong are; Xiang ri kui (China).;
8 Cakar Ayam Selaginella doederleinii Hieron. Rumput solo, cemara kipas gunung; Shi shang be (China).;
9 Calingcing Oxalis corniculata Linn. Calincing (Indonesia, Jawa), Mala-mala (Maluku); Rempi, semanggen, semanggi gunung, cembicenan (Jawa); Daun asam kecil lela, semanggi (Sumatra); Cu jiang cao (China).;
10 Daun Dewa Gynura segetum (Lour.) Merr. Beluntas cina, daun dewa (Sumatra), Samsit; San qi cao (China).;
11 Jarong Achyranthes aspera Linn. Jarongan, jarong lalaki, daun sangketan, nyarang (jawa).; Sui in sui, sangko hidung (Sulawesi), ; Rai rai, dodinga (Maluku).; Dao kou cao (China).;
12 Jarak Ricinus communis Linn. Jarak, jarak jitun, kaliki (Sunda), Jarak (jawa), Kaleke (Madura),; Gloah, lulang, dulang, jarak, kalikih alang, jarag (Sumatra),; Malasai, kalalei, alale, tangang jara, peleng kaliki jera (Sulawesi); Jarak (Bali), luluk (Roti), paku penuai (Timor), Balacai (Ternate), ; Balacai tamekot (Halmahera), tetanga (Bima), luluk (Roti),; Bi ma (China).;
13 Kembang Pukul Empat Mirabilisjalapa Linn. Kembang pukul empat (Indonesia, Sumatra), ; Kembang pagi sore, bunga waktu kecil (Sumatra); Kederat, segerat, tegerat (Jawa), Kupa oras, cako raha (Maluku); Bunga-bunga paranggi, bunga-bunga parengki (Sulawesi); Pukul ampa, turaga, bodoko sina, bunga tete apa (Sulawesi); Zi Mo li (China).;
14 Kumis Kucing Orthosiphon aristatus (B1) Miq. Kumis kucing, Mamang besar (Indonesia); Kutun, mamam, bunga laba-laba (Jawa); Mao Xu Cao (China).;
15 Pecut Kuda Stachytarpheta jamaicensis (L) Vahl Pecut kuda, Jarongan, Jarong lalaki, ngadi rengga, ; remek getih, jarong, biron, sekar laru, laler mengeng,; rumjarum, ki meurit beureum.; Yu long bian (China).;
16 Pegagan Centella asiatica, (Linn), Urb. Daun kaki kuda (Indonesia), Pegaga (Ujung Pandang); Antanan gede, Antanan rambat (Sunda), Dau tungke (Bugis); Pegagan, Gagan-gagan, Rendeng, Kerok batok (Jawa); Kos tekosan ( Madura), Kori-kori (Halmahera);
17 Rumput Mutiara Hedyotis corymbosa (L.] Lamk. Rumput siku-siku, bunga telor belungkas (Indonesia); Daun mutiara, rumput mutiara (Jakarta); Katepan, urek-urek polo (Jawa), Pengka (Makasar); Shui xian cao (China).;
18 Semanggi Gunung Hydrocotyle sibthorpioides Lam. Pegagan embun, antanan beurit, a. lembut (Sunda).; Andem, katepa’n, rendeng, semanggi (jawa), Salatun; Take cena (Madura), tikim, patikim; Tian hu sui (China).;
19 Sangketan Heliotropium indicum L. Gajahan, langun, uler-uleran, sangketan, cocok bero,; Tlale gajah, tulale gajah (Jawa), Bandotan lombok,; Buntut tikus, ekor anjing, tusuk konde (Sumatera); Da wei yao (China).;
20 Tahi Kotok Tagetes erecta L. Ades, Afrikaantjes; Wan shou ju (China).;

Daftar Tanaman Obat Indonesia

http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/

Daftar Tanaman Obat Indonesia

Data tervalidasi oleh Tim CoData Indonesia pada tahun 2000

A
Adas
Adem Ati
Ajeran
Akar Manis
Akar Wangi
Alang Alang
Alpokat
Andong
Angsana
Anting-anting
Anyang Anyang
Apel
Aren
Asam Jawa
Awar Awar

B
Bandotan
Bangle
Baru Cina
Bawang Merah
Bawang Putih
Bayam
Bayam Duri
Belimbing Asam
Belimbing Manis
Belimbing wuluh
Beluntas
Benalu
Beringin
Bidara Laut
Bidara Upas
Biduri
Bligu
Blustru
Boroco
Brojo Lintang
Brokoli
Brotowali
Buah Makasar
Buah Nona
Buncis
Bunga Kenop
Bunga Matahari
Bunga Pagoda
Bunga Pukul Delapan
Bunga Tasbih
Bungli
Bungur
Bungur Kecil
Buni

C
Cabai Merah
Cabai Rawit
Cabe Jawa
Cakar Ayam
Calingcing
Ceguk
Cempaka Kuning
Cempaka Putih
Cendana
Cengkeh
Ceremai
Cincau
Ciplukan

D
Dadap Ayam
Dadap Serep
Dandang Gendis
Daruju
Daun Dewa
Daun duduk
Daun Encok
Daun Jintan
Daun Kentut
Daun Madu
Daun Sendok
Daun Senna
Daun Ungu
Delima

E
Ekor Kucing
Enau

G
Gadung
Gambir
Gandarusa
Gendola
Genje
Ginjean
Greges Otot
Gude

H
Halia

I
Iler
Inggu

J
Jagung
Jahe
Jamblang
Jambu Biji
Jambu Monyet
Jamur Kayu
Jarak
Jarak Bali
Jarak Ulung
Jarong
Jati Belanda
Jayanti
Jengger Ayam
Jeruk Nipis
Jeruk Purut
Jintan Putih
Jintan/Ajeran
Johar
Jombang
Jung Rabab

K
Kacapiring
Kaki Kuda
Kaktus Pakis Giwang
Kamboja
Kapas
Kapasan
Kapulaga
Kastuba
Katu
Kayu Manis (padang)
Kayu Putih
Kecubung
Kecubung Gunung
Kedelai
Keji Beling
Kelapa
Kelingkit Taiwan
Kelor
Kembang Bokor
Kembang Bugang
Kembang Coklat
Kembang Kertas
Kembang Pukul Empat
Kembang Sepatu Sungsang
Kembang Sore
Kembang Sungsang
Kemuning
Kenanga
Kencur
Ketepeng Cina
Ketepeng Kecil
Ketimun
Ki Tolod
Klabet
Kol Banda
Kompri
Kubis
Kubis Bunga
Kucing Kucingan
Kumis Kucing
Kunci Pepet
Kunyit
Kwalot

L
Lada
Landep
Landik
Legundi
Lempuyang Gajah
Lempuyang Wangi
Lengkuas
Lenglengan
Lidah Buaya
Lidah Ular
Lobak

M
Mahkota Dewa
Mahoni
Mamang Besar
Manggis
Mangkokan
Melati
Mengkudu
Meniran
Mimba
Mindi Kecil
Mondokaki
Murbei

N
Nampu
Nanas
Nanas Kerang
Ngokilo
Nona Makan Sirih

P
Pacar Air
Pacar Cina
Padi
Pala
Pandan Wangi
Pare
Patah Tulang
Patikan Cina
Patikan Kerbau
Pecut Kuda
Pecut Kuda
Pegagan
Pepaya
Permot
Petai Cina
Pinang
Pisang
Pohon Merah
Portulaka
Poslen
Prasman
Pulai
Pule Pandak
Pulutan
Putri Malu

R
Rambutan
Rincik Bumi
Rumput Mutiara

S
Saga
Salam
Salvia
Sambang Darah
Sambang Getih
Sambiloto
Sambung Nyawa
Sangitan
Sangketan
Sawi Langit
Sawi Tanah
Secang
Seledri
Semanggi Gunung
Semangka
Sembung
Senggani
Sengugu
Sereh
Sesuru
Siantan
Sidaguri
Sirih
Sirsak
Sisik Naga
Som Jawa
Sosor Bebek
Srigading
Srikaya

T
Tahi Kotok
Tanduk Rusa
Tapak Dara
Tapak Kuda
Tapak Liman
Tasbeh
Tebu
Teh
Tembelekan
Tempuyung
Temu Hitam
Temu Kunci
Temu Putih
Temu Putri
Temulawak
Teratai
Teratai Kerdil
Tomat
Tunjung
Turi

U
Ubi Kayu
Urang-Aring

W
Waru
Wijaya kusuma
Wortel

Khasiat Buah Zaitun

http://id.shvoong.com/medicine-and-health/1648264-khasiat-buah-zaitun/

Khasiat Buah Zaitun
Pengarang : Teguh Vedder
Ringkasan oleh : Teguh Vedder
Kunjungan: 230
Diterbitkan di: Agustus 14, 2007

Zaitun sejak lama terkenal dengan khasiatnya untuk kesehatan. Terdiri dari :

Meningkatkan metabolisme
Makan ½ cup buah zaitun setiap hari dapat mencegah kegemukan. Khasiat ini berasal dari lemak tak jenuh tunggal yang mempercepat pembakaran lemak dan mencegah gula diubah menjadi lemak. Selain itu, sebuah studi dalam British Journal of Nutrition menemukan, asam lemak tak jenuh tunggal menstimulir cholecystokinin, sejenis hormone penekan nafsu makan yang mengirim sinyal kenyang ke otak.

Merevitalisasi system imun
Zaitun kaya dengan vitamin E larut lemak, yang melindungi sel-sel dari radikal-radikal bebas yang berbahaya. Antioksidan ini menguatkan system imun, mengurangi penyakit seperti pilek dan flu sampai 30%, begitu menurut para periset di Tufts University di Boston.

Menghaluskan kulit
Makan buah zaitun yang merupakan sumber terkaya oleic acid, membantu mengurangi tampilan garis-garis halus. Asam lemak ini dapat mengenyalkan kulit dan melindungi elastin kulit dari kerusakan.

Meningkatkan sirkulasi
Zaitun adalah sumber istimewa dari polyphenois, senyawa antioksidan yang membantu mencegah penggumpalan darah yang berbahaya. Sebuah studi dalam Journal Of American College of Cardiology mengaitkan senyawa ini dengan peningkatan kadar nitric oxide, molekul jantung sehat yang meningkatkan pelebaran pembuluh darah dan aliran darah.